Quantcast
Channel: SWA.co.id – Berita bisnis terkini, Diaspora Indonesia, Business Champions, dilengkapi dengan strategi dan praktek bisnis, manajemen, pemasaran, entrepreneur, teknologi informasi, keuangan, investasi, GCG, CSR, profil dan gaya hidup eksekutif.
Viewing all 483 articles
Browse latest View live

Alex Chandra

$
0
0
Alex Chandra

Ketika kebanyakan orang menganggap bekerja di bagian layanan pelanggan (customer service) kurang bergengsi, Alex Chandra justru menganggapnya keren. Itulah sebabnya, dia mendedikasikan diri di bidang itu dengan jabatan sebagai Customer Service Executive Mobility Holdings (produsen sepeda asal Taiwan), yang membawahkan dua merek dagang, Tern Bicycles dan Biologic Accessories, sejak 2012.

Alex ChandraProfesi itu dilakoni selepas dia meraih gelar master di Jurusan Teknik Mekatronika di National Taipei University of Technology (Taipei Tech) di Taipei. “Sebelum ke Taiwan, saya pernah bekerja sebagai peneliti matematika di Surya Institute asuhan Prof Yohanes Surya sekitar setahun,” ujar Alex, yang lulus S-1 Teknik Elektro Universitas Pelita Harapan, Tangerang.

Di Indonesia, Tern bekerja sama dengan Polygon, sebagai distributor resmi. Nah, peran Alex adalah mengurusi layanan konsumen di level regional dan global, seperti wilayah Indonesia, Eropa dan Amerika Serikat. Tugas dan tanggung jawab utamanya: membuat panduan dan menjawab pertanyaan teknis seputar produk sepeda serta menangani keluhan plus klaim garansi konsumen di seluruh negara di mana sepeda dipasarkan.

Divisi customer service bertujuan untuk melayani pertanyaan dan keluhan konsumen agar kepuasan menggunakan produk tetap terjaga. Perusahaan yang mempunyai customer service baik akan terus maju dan berkembang untuk jangka panjang. Sebab, konsumen yang puas akan terus menggunakan produk-produk baru lainnya dan senang hati memperkenalkan kepada temannya. Demikian sebaliknya, jika konsumen kecewa, mereka akan menyebarkan ke orang-orang di sekitarnya,” kata pria kelahiran Jakarta 5 Juli 1983 ini.

Tantangan terbesar divisi customer service, menurut Alex, menjaga kepuasan pelanggan dengan cara menangani keluhan pelanggan secara cepat dan akurat. Ada kalanya untuk menangani satu pelanggan perlu melibatkan beberapa pihak sekaligus. Di sinilah diperlukan kemampuan komunikasi yang baik supaya pesan yang disampaikan ringkas, lengkap serta jelas.

Untuk menghadapi tantangan itu, Alex sudah menyiapkan tiga jurus penting. Pertama, terus belajar dari keberhasilan orang lain dan kesalahan diri sendiri yang dilakukan sebelumnya. Kedua, menjaga relasi baik dengan semua pihak. Ketiga, follow up, follow up, dan follow up untuk memastikan masalah pelanggan dapat diselesaikan sesegera mungkin.

Saat ini, Alex mengaku cukup menikmati profesinya. Dia berpandangan bahwa sepeda adalah solusi terhadap masalah sehari-hari sebagai sarana transportasi. “Impian saya, kelak Jakarta bisa meniru kota-kota besar negara lainnya yang memberikan kemudahan dan keamanan untuk bersepeda sehari-hari dengan dibuatnya jalur khusus dan fasilitas penunjang lain,” ungkap pehobi membaca, bersosialisasi, dan bereksperimen dengan masakan tersebut. (*)

Eva M. Rahayu/Maria H. Azzahra

The post Alex Chandra appeared first on SWA.co.id.


Willix Halim

$
0
0
Willix Halim

Willix Halim sangat mencintai pekerjaannya. Dia merasa beruntung telah menemukan passion-nya di usia lebih muda ketimbang orang-orang pada umumnya. Setelah lulus kuliah tahun 2010, dia bertugas sebagai pemimpin Front End Developer di Honeywell (Top 100 Perusahaan Teknologi versi Fortune) dan menjabat sebagai Manajer Produk CSIRO (agen penelitian ilmiah terbesar di Australia).

Willix HalimLalu, tahun 2011, Willix memutuskan bergabung dengan Freelancer.com sebagai analis data. Enam bulan kemudian, dia dipercaya menjadi director of analytics di perusahaan ini. “Baru-baru ini saya kembali dipromosikan untuk memimpin tim engineering dan menjabat Senior Vice President of Growth di Freelancer.com,” kata eksekutif kelahiran Medan 15 November 1987 ini.

Tanggung jawab yang diemban lulusan Melbourne University, Australia, dengan dua gelar — Bachelor of Engineering (Mechatronics) dan Bachelor of Computer Science – ini mencapai 90% dari fungsi keseluruhan tim Freelancer.com, meliputi product management, data science, marketing, customer support, design, engineering dan talent.

Sebenarnya, pekerjaan saya sangat sederhana: menciptakan budaya perusahaan yang tolok ukurnya growth untuk menopang pertumbuhan kami sebagai marketplace terbesar bagi freelancer. Kami telah memiliki 18 juta profesional dalam platform dan mempekerjakan lebih dari 1 miliar freelancer,” ujar pria yang menamatkan pendidikan menengahnya di SMA 1 Santo Thomas, Medan, ini.

Ke depan, Willix sudah menetapkan target yang hendak dicapai. Tujuan jangka pendek, menjadikan perusahaannya senilai US$ 1 miliar. Saat ini, nilai kapitalisasi pasar Freelancer.com baru mencapai US$ 750 juta. Sementara itu, tujuan jangka panjang menjadi marketplace yang bisa memberikan pekerjaan atau proyek kepada 1 miliar orang yang mungkin akan menganggur jika tidak mendapat pekerjaan.

Untuk mencapai target itu, upaya yang dilakukan adalah selalu menggunakan data untuk mendorong keputusan bisnis, sehingga ilmiah. Selanjutnya, eksekusi, eksekusi dan eksekusi.

Kami tidak akan berhenti sampai bisa memberikan pekerjaan kepada 1 miliar orang. Kami memiliki 3 juta freelancer dari India dan 1 juta freelancer dari Indonesia. Tidak ada yang lebih berharga dalam pekerjaan saya dibandingkan bertemu dengan para pengguna Freelancer dan mereka menceritakan keberhasilan Freelancer mengubah hidup mereka lebih sejahtera,” ujarnya, seraya mencontohkan banyak top freelancer Indonesia yang berpenghasilan sekitar US$ 300 ribu per tahun. (*)

Eva M.Rahayu/Nerissa Arviana

The post Willix Halim appeared first on SWA.co.id.

Kisah Sukses Dua Bersaudara Berbisnis Sepatu Kulit

$
0
0

Sudah 12 tahun lamanya kakak beradik, Aditya Danandayu dan Aditi Erlangi, menggeluti bisnis sepatu kulit. Tepatnya sejak tahun 2004. Pada awalnya, mereka hanya coba-coba peruntungan dengan cara menjual sepatu kulit custom. Tidak disangka, justru dari coba-coba itu, mereka bisa menghasilkan omset ratusan juta per tahun.

Aditya Danandayu dan Aditi Erlangi

Aditya Danandayu dan Aditi Erlangi

Berbekal hobinya sedari kecil, Aditya dan Aditi, memang sudah terbius dengan sepatu kulit. Semenjak kecil keduanya punya ketertarikan tersendiri atas barang-barang yang berasal dari kulit. Sampai suatu saat muncul ide membuat produk untuk dikonsumsi sendiri, lantaran sulit mendapatkan jenis produk yang sesuai dengan keinginan. “Ternyata hasilnya banyak juga yang melirik,” kata Aditya.

Dari situ, ia kemudian berpikir bahwa bisnis sepatu kulit termasuk prospektif. Ia punya optimisme bahwa produk kulit punya penggemar yang segmented. Meski harganya tergolong lebih mahal, pasarnya tetap menjanjikan seiring pertumbuhan kelas menengah yang cukup signifikan. Tinggal bagaimana mengemas produk tersebut agar lebih trendi dan bisa menarik minat konsumen. “Memang banyak pesaingnya di bisnis ini, tapi kami punya keunggulan lebih bergaya anak muda,” ujar Aditya.

Sampai sekarang, setidaknya sudah dua merek dimiliki oleh kakak beradik ini. Satu merek premium bernama Bergh & Ozil, dan satu lagi untuk menengah-bawah dengan nama Cajsa. Kendati dimiliki orang yang sama, keduanya punya target pasar yang berbeda. Bergh & Ozil diperuntukkan bagi lelaki, sedangkan Cajsa untuk wanita dan anak-anak. Mereka punya tugas masing-masing dalam pengembangan setiap mereknya. “Saya megang sepatu cowok, adik saya megang sepatu cewek,” Aditya menambahkan.

Walau awalnya hanya menjual produk sepatu kustomisasi, lama-kelamaan bisnis mereka mulai berkembang. Mereka memiliki pabrik atau workshop tersendiri di Bandung yang berkapasitas hingga 2 ribu pasang sepatu per bulan. Dari kapasitas itu, sebanyak 800 pasang sepatu biasanya diproduksi untuk merek sendiri, sisanya dibuka untuk produsen lain, yang ingin menumpang. “Sistemnya mereka datang lalu produksi di sini. Saat ini workshop kami memproduksi untuk 8 merek termasuk kami sendiri. Tiga di antaranya merek luar negeri – dua dari Australia, satu lagi dari Belanda,” Aditya menjelaskan.

Resep sukses dari keduanya, lanjut Aditya, tak terlepas dari ketekunan menjalankan bisnis ini. Aditi bahkan sempat pergi ke Italia untuk belajar desain sepatu dan pembuatan pola di Ars Sutoria, Milan tahun 2009. Berbagai tantangan pernah dirasakan sejak merintis usaha, mulai dari masalah tenaga kerja hingga ketersediaan bahan. Namun, hal itu tak lantas membuat keduanya cepat menyerah. Sejak kecil mereka dididik untuk menjadi wirausaha yang tangguh oleh kedua orang tuanya, Benny Bayu dan Ida Ridhawati yang juga punya latar belakang profesi sebagai pengusaha. “Mereka (orang tua) lebih mendukung usaha daripada kerja kantoran,” Aditya menegaskan.

Maka, semua kendala dicarikan solusinya agar bisa diatasi. Termasuk mengimpor bahan kulit dari luar negeri untuk jenis kulit yang sukar didapat di dalam negeri. Rata-rata harga produk mereka dibanderol sesuai dengan bahan. Merek Bergh & Ozil misalnya, untuk sepatu dengan bahan kulit impor dibanderol seharga Rp 5-6 juta, sedangkan sepatu berbahan kulit biasa sekitar Rp 800 ribu. “Kalau Cajsa, tidak semahal itu, lebih terjangkau dengan kisaran Rp 300 ribu, karena tidak murni kulit. Pertimbangannya karena kalau perempuan kan lebih sering ganti-ganti sepatu dibanding laki-laki,” ujar Aditi.

Saat ini, setidaknya banyak orang telah menjadi pelanggan tetap sepatu buatan mereka. Tak hanya masyarakat biasa, beberapa orang ternama seperti Ayushita, Barli Asmara, Sarah Sechan pernah mencicipi mengenakan sepatu Bergh & Ozil. “Klien kami sudah banyak, tapi kalau yang loyal bisa lebih dari 50 orang,” ungkap Aditya.

Aditya dan Aditi lebih banyak menggunakan media online sebagai sarana pemasaran seperti Instagram, Twitter, Facebook dan website, selain juga punya offline store di Jl. Taman Cibeunying Utara 2A, Bandung. Dalam setahun biasanya mereka aktif ikut bazar empat sampai lima kali untuk menciptakan brand awareness atas kedua mereknya. Meskipun merupakan produk asli lokal, branding Bergh & Ozil sengaja dibuat lebih internasional. Bila kita mencoba mengunjungi laman berghozil.com, mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai tampilan, dan mencantumkan harga dalam bentuk dolar AS. “Kami ingin menyasar pasar internasional karena peluangnya ada dan cukup bagus. Sekarang juga sudah ada pembelian dari luar negeri dan mau dikembangkan ke sana,” ujar Aditi

Lucky, salah satu pengguna setia merek besutan dua bersaudara tersebut, mengaku puas dengan produk Bergh & Ozil dan Cajsa. Ia telah 2,5 tahun berlangganan Bergh & Ozil dan aktif membeli sepatu wanita besutan Aditi. “Sepatu pria Bergh & Ozil untuk saya pakai sendiri, kalau sepatu Aditi yang ceweknya untuk klien saya, karena pekerjaan saya stylish,” ujarnya.

Ia pertama kali kenal dengan produk tersebut melalui kakak dan ibunya yang telah lebih dulu berlangganan. Baginya, kedua merek tersebut menawarkan model yang sangat mengikuti perkembangan tren saat ini. “Walau tidak murah harganya, masih masuk akal,” ujarnya.

Profil Bergh & Ozil

Nama pendiri: Aditya Danandayu (13 November 1982)

& Aditi Erlangi (2 Maret 1985)

Fokus bisnis: Sepatu kulit

Toko offline: Jl. Taman Cibeunying Utara 2A Bandung

Merek & harga: Bergh& Ozil (Rp 800 ribu-6 juta) dan

Cajsa (sekitar Rp 300 ribu)

Strategi pemasaran: online, bazar, kolaborasi dengan

desainer dalam ajang IFW dan JFW

Produksi: 800 pasang per bulan (untuk merek sendiri)

Omset: di bawah Rp 500 juta per tahun

Jumlah karyawan: sekitar 35 orang

The post Kisah Sukses Dua Bersaudara Berbisnis Sepatu Kulit appeared first on SWA.co.id.

EnvyMe, Wujud Rasa Iri Diana kepada Dunia Kecantikan

$
0
0
Diana Anggriani

Merasa prihatin karena masih jarang produk kosmetik sehat di Indonesia, ditambah minatnya yang besar di dunia kecantikan, serta modal latar belakang pendidikan farmasi ditangannya, membuat Diana Anggriani yakin ketika mendapat dorongan kuat memproduksi dan memasarkan produk kosmetik di Bandung. Maka, di bawah CV Kosmetika Safi Adikarya, akhir 2011, lahirlah produk kosmetik EnvyMe yang berarti “iri kepadaku” – sebuah penyataan yang bermakna ganda: iri karena terpikat dan ajakan untuk mengikutinya.

Diana AnggrianiBukan tanpa pengalaman Diana berbisnis kosmetik sendiri. Mojang priangan ini memiliki latar belakang sebagai sarjana farmasi lulusan Universitas Padjadjaran (2004-09). Kemudian, ia melanjutkan pendidikan Apoteker di Fakultas Farmasi di universitas yang sama (2009-10). Setelah lulus, ia bekerja di salah satu perusahaan kosmetik ternama di Bandung selama 3,5 tahun sebagai apoteker penanggung jawab divisi riset dan pengembangan produk.

Menurutnya, ia berani terjun membesut sendiri bisnis kosmetik karena pasarnya di Indonesia sangat besar. Maklum, kosmetik saat ini sudah menjadi kebutuhan primer wanita Indonesia. “Sehingga saya memilih berbisnis kosmetik,” katanya menegaskan. Karena baru merintis bisninya, Diana melakukan produksi di pabrik orang lain (toll manufacturing). Pabrik rekanannya ini memiliki kapasitas produksi yang besar dan sudah mendapat sertifikat Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

Produk kami hydroquinone free, mercury free, dan paraben free sehingga aman dipakai jangka panjang karena menggunakan ekstrak alami dalam setiap produk,” ujar Diana berpromosi. Ekstrak alami yang dipakai adalah ekstrak pepaya yang mengandung enzym papain sebagai exfoliator alami, dan apple serum stem cell sebagai anti-ageing yang mengandung anti-oksidan kulit. Segmen pasar yang dibidik adalah wanita muda berusia 15-25 tahun. “Biasanya di usia seperti itu belum mempunyai kosmetik yang cocok atau dalam pencarian produk yang tepat untuk dirinya. Sehingga, lebih mudah kami edukasi,” katanya.

Kisaran harga produk yang dipasarkannya, Rp 28-130 ribu. Untuk yang Rp 28 ribu adalah toner. Adapun yang paling mahal adalah apple serum. Ia juga menjual dalam paket, yaitu Papaya Deluxe whitening series Rp 280.000/paket, dengan isi: facial foam, toner, night cream, daycream, dan serum. Produk Papaya Deluxe dan juga dua produk lainnya, yaitu peeling dan kefir mask, termasuk yang paling banyak diburu pelanggan. “Saat ini, 60% penjualan berasal dari tiga rangkaian produk tersebut,” cetusnya. Saat ini ia memiliki reseller di Sumatera (Medan), Jawa (Jabodetabek, Jawa Barat), Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan NTB (Lombok). Konstribusi terbesar, yaitu 40%, berasal dari reseller di Jabodetabek dan Ja-Bar.

Sejatinya, bukan perkara mudah bagi Diana untuk membesarkan bisnisnya. Terlebih, dalam bisnis kecantikan diperlukan kepercayaan yang tinggi dari pelanggan untuk menggunakan produknya. Itu sebabnya, selain dirinya juga menggunakan produknya, juga pada saat awal berbisnis, ia merawat wajah tantenya yang memilki flek menahun selama 12 tahun. “Saya rawat bukan hanya menggunakan krim dan serumnya. Tetapi asupan makanan, olahraga dan keseluruhannya. Ketika akhirnya kondisi kulitnya semakin baik, saya senang dan akhirnya teman-teman tante pun mencoba produk EnvyMe karena melihat perkembangan kulitnya,” ungkapnya mengenang.

Ia pun terus memperluas pasar dengan melakukan promosi di media online atau media sosial, blogger dan marketplace. Melalui media online ini, selain mempromosikan produknya, ia juga mengumpulkan berbagai testimoni dari pelanggan yang telah menggunakannya sehingga EnvyMe semakin dipercaya. Ia juga akan memperbanyak video blogging untuk memberikan tutorial penggunaan produk kosmetik, atau apa saja kosmetik yang ia gunakan, olahraga yang ia lakukan, yaitu yoga, dan hobinya minum jus untuk menunjang kecantikan luar dan dalam. “Saya ingin membagikan kepada sebanyak-banyaknya orang. Dan untuk campaign EnvyMe di 2016 adalah #cantikalami #nomakeup,” katanya menginformasikan.

Promosi via media online cukup ampuh mendongkrak penjualan. “Kontribusi penjualan online 80%, dan offline 20% yang salah satunya melalui penjualan di Alun-Alun Grand Indonesia Jakarta dengan sistem konsinyasi,” katanya. Adapun target penjualan di tahun ini diharapkan bisa meningkat 2-3 kali lipat. Dengan demikian, promosi pun akan terus ditingkatkan. Dan, saat ini EnvyMe sudah memilki duta merek untuk produk, yaitu seorang celebgram atau nitizen yang aktif di media sosial Instagram bernama Helmi Nursifah (@helminursifah)

Wasiaturrahma Gafmi, Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Surabaya, menilai EnvyMe bisa bersaing dengan kosmetik lainnya bila mempunyai nilai lebih. Selain itu, strategi yang harus dikembangkan EnvyMe adalah menjaga kepercayaan pelanggan dengan cara meningkatkan kualitas produk dan harga yang terjangkau, serta terus melakukan inovasi melalui riset yang berkualitas. “Peluang pasarnya cukup bagus karena dalam promosinya, EnvyMe menggunakan media sosial yang sangat cepat diketahui oleh masyarakat/netizen,” katanya.(*)

Dede Suryadi dan Tiffany Diahnisa

The post EnvyMe, Wujud Rasa Iri Diana kepada Dunia Kecantikan appeared first on SWA.co.id.

Antonius Bong, Garap e-Commerce Lewat Cantik.com

$
0
0
Antonius Bong

Kreasi bisnis anak muda bernama Antonius Bong ini seperti tak ada matinya. Sejak 10 tahun lalu beberapa bisnis telah dikembangkan, dan masih berjalan hingga sekarang. Mulai dari bisnis kemasan, kafe, hingga studio game. Belakangan, Antonius masuk ke bisnis e-commerce dengan mengembangkan toko online khusus fashion wanita: Cantik.com.

Antonius BongKiprah kewirausahaannya dirintis ketika ia selesai kuliah di sebuah universitas di Melbourne, Australia, pada 2006. Ketika itu, ia dan beberapa temannya mendirikan perusahaan impor kemasan dari Indonesia (ke Australia), bernama Inkers Printing. Bisnis ini hanya dijalani lulusan bidang akunting dan TI ini selama tiga tahun. Alasannya, ia memutuskan kembali ke Indonesia setelah melihat banyak peluang yang bisa dikembangkan.

Di Indonesia, Antonius mengawali bisnisnya dengan mengembangkan cyber cafe —kafe dengan fasilitas Internet– bernama Cyberia. Sampai saat ini, Cyberia telah memiliki enam gerai, tersebar di Bandung dan Jakarta.

Pada 2012, ia mengembangkan sayap bisnisnya, dengan mendirikan studio game bernama Aston Code, yang membuat aplikasi game untuk Android dan iOS. Hingga saat ini Aston Code masih aktif membuat game. Salah satu produk game-nya yang paling hit adalah Harmoni, aplikasi karaoke untuk anak-anak.

Tak berhenti di situ, pada akhir 2014 Antonius bersama tiga temannya, yaitu Sam Tanuwidjaja, Indra Gunawan, dan Wenas, merintis bisnis e-commerce lewat situs Cantik.com. Agar lebih fokus mengembangkan bisnis e-commerce, ia menyerahkan bisnis-bisnis yang sudah dikembangkannya kepada para profesional. “Peluang Cantik.com untuk berkembang sangat besar, maka saya fokus di sini,” kata Antonius memberi alasan.

Menurut dia, dipilihnya bidang e-commerce fashion, terutama untuk wanita, karena secara global pertumbuhan bisnis ini sangat tinggi. “Kami menyasar mass market. Karena itu, kami menggunakan slogan ‘Semua Bisa Cantik’,” tuturnya. Dipilihnya segmen mass market karena potensinya sangat besar. Di Jakarta saja, jumlah orang yang berbelanja online 6 juta orang. Di seluruh Indonesia 11 juta. “Potensinya sangat besar dan pemain yang menyasar mass market belum banyak,” ucapnya.

Cantik.com menjajakan beragam produk aparrel untuk wanita, dengan kisaran harga relatf murah, mulai dari Rp 70 ribuan hingga Rp 180 ribuan. Maklum, semua produknya lokal, tetapi diklaim berkualitas ekspor. “Meski murah, kami menjamin kualitas produknya terjaga, dan modelnya up-to-date,” Antonius mengklaim. “Kebanyakan e-commerce fashion yang ada kan menyasar pasar kelas atas, belum ada yang melirik ke mass market. Kami yang pertama masuk,” ia menambahkan.

Menurut Antonius, pihaknya mengontrol mutu produk yang ditawarkan Cantik.com. “Hingga hari ini, return rate di Cantik.com nyaris nol. Artinya, pelanggan sangat puas,” katanya.

Pihaknya didukung oleh orang-orang yang berpengalaman (kini ada tujuh orang) di bidang merchandising. Total karyawannya sekitar 60 orang. Tiap hari, timnya melakukan evaluasi, mana yang paling diminati dan mana yang kurang diminati. Agar pelanggan lebih tertarik, pihaknya menggratiskan ongkos kirim ke seluruh Indonesia. “Cantik.com memang ingin membuat semua wanita cantik tanpa terhalangi ongkos kirim yang mahal,” ucap Antonius.

Kendati begitu, diakuinya, shipping cost di Indonesia tergolong tinggi. Namun, tidak semua pelanggan Cantik.com berasal dari daerah yang jauh. Justru, lebih dari 50% pelanggan Cantik.com berasal dari Jawa yang ongkos kirimnya masih terjangkau, Rp 7-8 ribuan. “Kami belum memutuskan sampai kapan bisa memberikan free shipping cost ini. Kalau perlu sih, selamanya,” ujarnya seraya tersenyum.

Dengan cara membuat bebas ongkos kirim, Antonius meyakini akan banyak menarik pembeli. Setelah senang dan puas, pelanggan akan bicara ke teman dan kerabatnya, selain tentu saja akan kembali membeli produk.

Ia yakin perusahaan e-commerce-nya ini akan membesar. Ia melihat yang terpenting adalah fokus dalam pengelolaan. “Secara fundamental sama dengan bisnis lain, manajemen harus kuat, proses bisnis harus baik, cost management harus bagus, monitoring, kontrol dan auditing juga harus berjalan dengan baik,” paparnya.

Untuk mempromosikan Cantik.com, tim Antonius menjalankan digital marketing dan offline marketing. Karena pembeli produk fashion masih dari offline, dilakukan pula cara community building. Juga, secara reguler pihaknya mengadakan pameran di gedung perkantoran besar. “Kami perkenalkan apa itu Cantik.com, bagaimana cara membeli produk di web kami. Barangnya juga dipajang agar calon pembeli bisa melihat dan merasakan produk kami,” ujarnya.

Cantik.com pun memanfaatkan figur selebritas untuk menjadi endorser. Juga, menggunakan fasilitas media sosial agar jangkauan promosinya lebih luas. “Kami tidak mau jorjoran dalam aspek marketing, tetapi lupa dengan produknya sendiri. Karena, esensi bisnis ada pada produknya. Kalau produk bagus, biaya pemasarannya tidak perlu besar. Product will speak for itself,” kata Antonius.

Menurut penggemar olahraga golf, snowboard dan tenis ini, pihaknya pun peduli urusan R&D. Pihaknya sangat selektif dalam memilih pemasok dan penjahit yang mendukung produksinya. Saat ini ada lima pabrik garmen yang bekerja sama dengan Cantik.com. “Seleksi kami sangat ketat, karena kami tidak mau pelanggan kecewa dengan produk Cantik.com,” kata lelaki kelahiran 20 Januari 1984 ini.

Antonius mengklaim pertumbuhan bisnis Cantik.com cukup bagus. “Pertumbuhan penjualannya 40%-50% per bulan,” ujarnya. Ia berniat mengembangkan bisnis e-commerce fashion khusus pria di masa mendatang. (*)

Herning Banirestu & A. Mohammad B.S.

The post Antonius Bong, Garap e-Commerce Lewat Cantik.com appeared first on SWA.co.id.

Kiat Bisnis Perhiasan Swarovski Dua Sejoli

$
0
0

 

Batu kristal belakangan kerap menjadi pilihan favorit bagi mereka yang mendambakan penampilan mewah dan elegan. Tak heran, tren penggunaannya cukup populer di industri fashion dan aksesori perhiasan. Di dunia sendiri, merek Swarovski besutan Daniel Swarovski, telah menjadi merek yang mengglobal dan digandrungi banyak peminat. Banyak desainer menggunakan kristal Swarovski untuk meningkatkan daya tarik dalam mengkreasikan karya mereka.

Melihat peluang usaha di bisnis perhiasan berbahan dasar Swarovski inilah, pasangan Maharani Ruth dan Almaciga Tjondro tak tinggal diam. Tahun 2010, keduanya mulai menjalankan bisnis yang bergerak di bidang perhiasan berbahan dasar Swarovski. Beberapa produk yang dijual, antara lain, kalung, gelang, liontin dan anting. Mereka punya dua merek yang menaungi hasil produknya, AR Signature sebagai lini utama, dan AR Hestia sebagai merek lini kedua dengan kisaran harga Rp 700 ribu hingga belasan juta. AR Signature punya ciri khas full handicraft dengan desain yang lebih rumit, sedangkan AR Hestia lebih pada item sederhana yang komponen pendukung utamanya titanium dan stainless steel. “AR Signature desainnya jauh lebih kompleks dan perlu waktu pengerjaan lebih lama, sehingga harganya relatif lebih tinggi. Sementara AR Hestia desainnya lebih daily use, jadi harganya lebih terjangkau, tutur Alma.

Dua sejoli sejak semasa kuliah itu bisa dibilang berani dan nekat ketika terjun ke bisnis perhiasan Swarovski. Mereka menjual semua investasi di bidang logam mulia dan saham yang sebelumnya dijalankan. Total dibutuhkan dana Rp 50 juta ketika mulai merintis AR Signature. Teknik pembuatan perhiasan pun dipelajari secara otodidak lewat YouTube, dan tanya pada orang-orang. Kebetulan, sejak SMP Ruth memang suka membuat kerajinan tangan, jadi tidak canggung mempelajari hal tersebut. “Pembagian tugasnya, Ruth yang bertugas mendesain dan saya lebih di bagian pemasaran,” ia menambahkan.

Lewat hasil kerja kerasnya saat itu, AR Signature dan Hestia perlahan mulai dikenal khalayak. Setiap bulan rata-rata omset mencapai Rp 80-100 juta. Mereka telah menjadi partner branding resmi Swarovski. Padahal, di awal merintis usaha, mereka mendapat pasokan dari distributor Singapura. Kepercayaan dari Swarovski untuk menjadi partner branding tidaklah didapat dengan mudah. Mereka harus menunjukkan konsistensi bisnis hingga desain yang tidak sekadar asal jiplak dan pasang.

AR Signature dan Hestia, ia mengklaim, punya orisinalitas dalam desain. Mereka menolak permintaan konsumen yang memesan barang sekadar untuk meniru merek besar lainnya. “Awalnya kami dipandang sebelah mata oleh Swarovski, lama-kelamaan mereka melihat merek kami bertahan dan serius. Maka, dari Swarovski pusat di Austria ditunjuklah Swarovski Indonesia untuk kontak kami,” ujar pria kelahiran Juli 1988 ini.

Kemitraan tersebut membantu secara bisnis untuk meningkatkan kepercayaan. Seluruh produk yang dijual dijamin keasliannya, yakni hanya menggunakan elemen Swarovski. Kebetulan, menurut Alma, di Indonesia masih jarang pemain yang membuat sendiri perhiasan dengan Swarovski. Sebaliknya, untuk keperluan industri fashion banyak. “Jadi waktu awal membangun bisnis ini, kami melihat dulu siapa kompetitor kami, dan ternyata di Indonesia untuk perhiasan tidak ada. Kalau untuk baju banyak kompetitornya, Alma menuturkan.

Sejauh ini, pemasaran AR Signature lebih banyak menggunakan media sosial, bazar dan strategi dari mulut ke mulut. Hampir setiap bulan mereka selalu mengikuti bazar yang diadakan di mal besar Jakarta. Cara ini, menurut Alma, lebih ampuh daripada beriklan. Ia pernah mencoba memasang iklan di Internet dan majalah, tetapi tidak efektif dan kurang mendapatkan umpan balik. “Kami telah coba iklan, tapi tidak berhasil untuk bisnis perhiasan. Kami harus cari orang-orang yang memang hobi dengan perhiasan, terus kami konsen di sana,” ungkapnya.

Pemilihan jenis bazar pun, lanjut Alma, sangat penting untuk mendongkrak penjualan. Menurut pengalamannya, tidak semua bazar bisa memberikan kontribusi yang bagus bagi bisnis AR Signature. Tahun pertama ikut bazar misalnya, AR Signature merugi lantaran masih meraba-raba atau survei, bazar mana yang bisa memberikan kontribusi positif. “Kami catat bazar mana yang bagus, di tahun selanjutnya kami lebih selektif, kami ambil bazar yang oke saja,” kata Alma lagi.

Dua sejoli ini tidak ingin terlalu gegabah dengan menginvestasikan banyak dana dari segi pemasaran. Mereka lebih mengoptimalkan potensi yang ada, agar harga jual pun tidak langsung naik membubung tinggi. Aktivitas branding lewat media sosial, seperti Facebook, Instagram, situs, dan Twitter, saat ini cukup berkontribusi. Lagi pula, AR Signature pernah mencoba membuka toko di Plaza Indonesia, dan punya pengalaman yang kurang baik. “Kebetulan saat itu kondisi pasar lagi buruk, ditambah lagi malnya sedang direnovasi hampir semua lantai, sehingga toko sepi karena faktor tersebut. Akhirnya kami fokus di online,” Alma bercerita.

Dari segi media sosial, AR Signature memang punya banyak pengikut. Di Instagram misalnya, akunnya @arsignature punya lebih dari 1.700 pengikut, begitu pula dengan Twitter @arsignature_com yang memiliki lebih dari 2 ribu pengikut. Terpenting saat ini, menurut Alma, bagaimana menjaga kualitas produk untuk kesinambungan pasar. Jangan sampai AR Signature menjadi money-oriented sehingga melupakan kualitas. ”Jangan sampai harganya makin tinggi tapi kualitasnya makin jelek, Alma menegaskan.

Stefani Gustan, salah satu pelanggan AR Signature, merupakan contoh pelanggan yang terinformasi lewat media sosial. Ia mengaku mengenal produk ini melalui Instagram. Stefani merasa tertarik membeli karena harganya terjangkau, memiliki banyak variasi, dan melayani pesanan kustomisasi. “Kira-kira sudah beli di sana lebih dari lima kali, pelayanannya cukup memuaskan. Semoga tiap tahun keluar model baru terus, ujar Stefani

Sri Niken Handayani & Ananda Putri

Riset: M. Khoirul Umam

BOKS:

Profil Singkat

Nama merek:

AR Signature dan AR Hestia

Bidang bisnis:

Perhiasan yang didesain dengan menggunakan elemen Swarovski

Pendiri: Maharani Ruth (kelahiran tahun 1991) dan Almaciga Tjondro (kelahiran tahun 1988)

Omset:

Rp 80-100 juta per bulan

Strategi pemasaran:

Media sosial, bazar, dan dari mulut ke mulut

The post Kiat Bisnis Perhiasan Swarovski Dua Sejoli appeared first on SWA.co.id.

Porter.id Padukan Layanan Logistik Konservatif dan Outsourcing

$
0
0
Richard Cahyanto, CEO dan Co-Founder Porter.id

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang mendorong meningkatnya kelas menengah dan konsumsi masyarakat, kebutuhan logistik terus meningkat sebesar 15% setiap tahunnya. Di tahun 2014 saja, data dari Fost & Sullivan market sizenya setara dengan APBN atau sekitar Rp 1.800 triliun.

Richard Cahyanto, CEO dan Co-Founder Porter.id

Richard Cahyanto, CEO dan Co-Founder Porter.id

Selain itu, faktor pendorong lainnya adalah sebanyak 15-20% urusan logistik dari perusahaan dilempar ke pihak ketiga atau alih daya (oursourcing). Menurut Zaldy Ilham Masita, Presiden Asosiasi Logistik Indonesia, setiap tahun jumlah tersebut akan terus meningkat.

Melihat peluang itu, Richard Cahyanto (28) mengajak rekan-rekannya untuk membangun sebuah platform inovatif sebagai opsi permasalahan logistik yang ada di Indonesia lewat bendera PT Porter Primalayan Indonesia (Porter.id).

“Sebelum adanya Porter.id, bisnis memiliki dua opsi untuk bidang logistik. Yaitu, memiliki armada sendiri atau menggunakan jasa outsourcing konvensional. Keduanya memiliki kelemahan tersendiri. Nah, bisnis kami menyatukan yang terbaik dari kedua opsi ini sehingga menjadi sebuah solusi yang terbaik untuk bisnis,” jelas Richard pada SWA Online di Jakarta (9/5).

Porter.id adalah sebuah perusahaan rintisan yang bergerak di bidang on-demand logistics. Didirikan pada bulan Oktober 2015 lalu. Selain Richard, ada Anthony Sadeli dan Jessica Hendrawidjaja. Berbeda dengan Anthony dan Jessica, Richard mengaku hanya dua tahun kuliah di Singapore Management University lalu sempat bekerja sebagai konsultan makanan dan minuman di Singapura. Setelah itu, ia kembalinya ke Indonesia dan mengajak kedua sahabatnya itu untuk membangun Porter.id

Porter.id menargetkan klien dengan cakupan yang sangat luas, semuua perusahaan dan bisnis yang membutuhkan layanan logistik, Porter.id siap untuk memprospeknya. “Saat ini banyak sekali jenis usaha, baik e-commerce maupun konservatif yang membutuhkan usaha logistik yang handal dan terpercaya. Sayangnya, belum ada jasa logistik yang robust dan reliable untuk membantu usaha mereka,” lanjut Richard yang menjadi pemimpin untuk tim yang berjumlah 18 orang.

Dengan modal armada kendaraan roda dua, Porter.id dapat memastikan barang yang diantar oleh klien di wilayah Jadetabek dapat dijangkau dengan harga yang lebih murah. Meski tidak merinci harganya, namun Richard membeberkan jika harga yang lebih murah itu bukan dari prinsip ‘bakar uang’. Tetapi lewat model bisnis secara keseluruhan yang dirancang. Dan juga menjaga kepercayaan dari klien yang sudah ada.

Ia mencontohkan, jika ada armada yang mengantar barang ke satu tempat, lalu sekembalinya ke tempat semula tidak membawa barang. Maka, cost yang dikeluarkan jauh lebih mahal. Lewat sistem yang sudah teruji, seperti fitur live tracking dan delivery management system. Richard memastikan bahwa setiap armada Porter.id akan tetap mengantar barang dua arah sekaligus sehingga lebih efisien.

Semakin rajin porter mengirim barang, semakin banyak pula pendapatan yang ia terima. Richard mengklaim jumlah pendapatan porter (pengantar barang) di atas upah minimun regional Jakarta.

“Uji coba system delivery network pertama kali kami pakai, lewat platform kakilima.porter.id. Setelah 3-4 bulan kami coba dan ternyata sangat baik hasilnya. Lebih dari 800 pedagang kali lima yang terdaftar dan rupanya hal itu yang membuat Jakarta smart city menggandeng kami,” lanjut Richard.

Segala jenis barang, baik dari makanan, alat elektronik ataupun dokumen siap dilayani Porter.id. Dengan modal utama adalah kepercayaan, sebanyak 50 armada yang sudah bergabung siap untuk mengantarkan barang ke tujuan dengan aman. Di akhir 2016 ini, ditargetkan jumlah armada sebanyak 300.

Porter.id memang sengaja tidak memperbanyak jumlah armadanya, untuk bergabung sebagai porter pun sangat selektif dan ada pelatihannya terlebih dahulu. Dengan system delevery network yang sudah teruji, RIchard sangat optimis jumlah yang ada bisa mencover semua klien.

“Yang kami terapkan adalah prinsip batasan wilayah dan kapasitas orderan. Semakin luas wilayah yang dijangkau, maka semakin banyak jumlah kirimannya,” jelas Richard.

Maksudnya, jika ada satu perusahaan yang sudah memakai jasa Porter.id lalu ia cocok dengan layanannya, maka ia akan menggunakan kembali untuk pengiriman ke wilayah lain dengan jumlah kiriman yang bisa lebih besar dari sebelumnya.

Mengenai investasi yang keluar lebih dari Rp 1 miliar, Richard mengaku posisi Porter.id yang di tahap bootstrapping. Saat ini masih menggunakan dana dari para pendiri dan juga angel investor. Beberapa Venture Capital sedang dijajaki untuk masuk pada tahap Seed. Harapannya jika sudah ada pendanaan selanjutnya, bisnis yang dibangun bisa berusia panjang. (EVA)

The post Porter.id Padukan Layanan Logistik Konservatif dan Outsourcing appeared first on SWA.co.id.

Aldo Benas

$
0
0
Aldo Benas

Sesuai dengan latar belakang pendidikannya, S-1 Ekonomi dari US Berkley, Amerika Serikat, Aldo Benas menapaki tangga karier di bidang ekonomi juga. Awalnya, dia bekerja di Credit Suisse Indonesia menjadi periset yang menyediakan data untuk klien. Lalu, dia dibajak oleh Sinar Mas Digital Venture (SMDV) untuk melakukan analisis investasi permodalan ventura di perusahaan startup dan teknologi.

Aldo BenasRole saya, misalnya ada investment oportunity seperti startup, pengelola website dan aplikasi pencari funding, saya sebagai analis investasi. Tugasnya mengakses apakah bisnis ini cukup menjanjikan ke depannya dan cocokkah diberi dana investasi,” ujar kelahiran Jakarta 24 September 1991 ini.

Bagi Aldo, tantangan pekerjaan yang dihadapi ada dua. Pertama, memastikan apakah dalam mengakses bisnis ini cocok untuk investasi atau tidak. Investasi adalah suatu kepercayaan kepada perusahaan yang satu dan lainnya. “Kami kan menaruh uang, pasti melihat apakah foundernya bisa mengeksekusi strategi dan bussines plan yang sudah mereka janjikan pada investor,” dia menegaskan.

Tantangan kedua, komunikasi antara investor dan pemilik usaha yang banyak dinamikanya. Umpamanya, kondisi yang tidak bisa ditebak, sehingga menjaga dinamika antara investor dan founder menjadi sesuatu yang penting sekaligus merupakan tantangan.

Untuk menghadapi tantangan itu, saya berusaha menjaga dinamika dengan komunikasi terbuka. Kalaupun ada kritik, ya harus dilakukan dengan forum yang membangun. Karena, investasi itu seperti halnya pernikahan, jaga komitmen satu sama lain dan harus menjaga tujuan di awal,” Aldo menjelaskan.

Sejauh ini, beberapa perusahaan startup yang telah mendapat suntikan dana SMDV adalah Urbanindo.com, Giftcard.co.id, Femaledaily.com, DIMO (digital money), Omise (payment gateway), dan Ardent Capital.

Kalau ditanya apa kontribusi saya bagi perusahaan, saya berusaha dengan kapabilitas saya dalam menganalisis, berafiliasi dan berinvestasi supaya bisa valuable dengan return menarik bagi perusahaan. Jadi dengan kapabilitas dan networking saya, diharapkan SMDV bisa lebih dikenal orang,” ucap Aldo, yang selalu memegang prinsip jujur, disiplin dan kerja keras dalam bekerja.

Dalam mencapai target kariernya, Aldo memiliki strategi khusus, yakni banyak membaca dan berdiskusi dengan berbagai narasumber. Cara ini diyakini dapat mengasah kemampuan analisis dan banyak merefleksikan apa saja yang banyak terjadi masyarakat. “Hidup itu kan about the dots, jadi gimana caranya mengorelasikan hal-hal tersebut satu sama lain agar membentuk suatu jaringan yang kuat sangatlah dibutuhkan,” Aldo menguraikan alasannya.

Kelak, saya ingin menjadi investor yang lebih andal dan bisa belajar entrepreneurship. Bahkan, saya bermimpi menjadi entrepreneur. Bagaimanapun, menjadi entrepreneur itu tidak mudah, tetapi sekaligus menyenangkan,” kata Aldo menutup pembicaraan.

Eva M. Rahayu/Rizky C. Septania

The post Aldo Benas appeared first on SWA.co.id.


Gazan Azka Ghafara, Menyantap Gurihnya Bisnis Keripik Pisang

$
0
0
Gazan Azka Ghafara

Sempat dua kali gagal menjalankan bisnis, Gazan Azka Ghafara akhirnya menuai sukses di bisnis keripik pisang. Keripik pisang buatannya yang diberi merek Zanana Chips berhasil menembus pasar seantero Indonesia dan meraup omset ratusan juta rupiah per bulan.

Gazan Azka GhafaraKepada SWA di kantornya di Taman Cibaduyut Indah, Bandung, Gazan mengungkapkan, cikal bakal kesuksesannya diawali kala dia berusia 16 tahun. Saat itu, seorang ibu dari temannya memberikan dua buku, The Law of Attraction karya Michael J. Losier, dan Rich Dad Poor Dad karya Robert T. Kiyosaki. Kedua buku itu ternyata menginspirasinya untuk memahat nasibnya sendiri. “Akhirnya, setelah baca buku tersebut, saya ingin jadi pengusaha. Saya pun ikut seminar bisnis, motivasi dan pengembangan diri,” cerita pria kelahiran Bandung, 27 Juli 1995 ini.

Usai mengikuti sebuah seminar bisnis, dia makin termotivasi sampai memutuskan benar-benar terjun menjadi pengusaha. Jadilah Gazan menggeluti bisnis pertamanya di bidang ayam tulang lunak. Segala energi, semangat dan kreativitasnya dituangkan ke bisnis yang dia dirikan bersama seorang rekannya. Setahun kemudian, bangkrut.

Tak menyerah, dia lalu berbisnis risol. Tiga bulan kemudian, nasib serupa diterimanya: bisnisnya jeblok. Lalu, dia melirik keripik pisang. Ternyata, di sini Dewi Fortuna mulai mengerling padanya. “Waktu itu saya mau makan pisang cokelat Lampung, tapi bingung di Bandung belinya di mana. Akhirnya saya riset kecil-kecilan dan saya simpulkan, penggemarnya banyak tapi susah dicari produknya,” ungkapnya.

Peluang emas ini tak disia-siakan. Tahun 2013 dia mulai berusaha mewujudkan usaha ketiganya yang diberi nama Zanana Chips, gabungan namanya, Gazan, dan banana. Modal awalnya Rp 1 juta. Dia pun meminjam dana tambahan Rp 1 juta dari saudaranya untuk membeli peralatan.

Proses penemuan rasa produk yang tepat pun tak mudah. Dia harus berjibaku sebulan lamanya untuk mencari rasa yang tepat. Dia berkreasi sendiri menghasilkan aneka rasa seperti cokelat, teh hijau dan susu. Usaha pertamanya menghasilkan 30 bungkus plastik keripik pisang yang dijual Rp 10 ribu per bungkus. Ternyata laris manis. Keuntungan yang diperoleh terus diputarnya.

Empat bulan kemudian, ia memperbaiki kemasan. Dulu, kemasan Zanana hanya mampu mengawetkan produknya selama empat bulan. Kini, dengan kemasan yang lebih baik, daya tahannya meningkat hingga mencapai satu tahun. Dia pun secara spesifik menyasar segmen perempuan remaja hingga dewasa muda usia 17-30 tahun yang suka berbelanja online. Karena itu, kemasannya dibuat berkonsep minimalis, elegan dan modern. “Branding kami dengan warna dan desain simpel tapi eye catching,” ungkap Gazan menyebut kemasan produknya yang didominasi warna kuning dengan plastik tembus pandang berbentuk pisang di tengahnya. Varian rasanya pun dibuat “muda”, yakni cokelat, susu, teh hijau, balado dan daging asap.

Untuk pemasarannya, sebagai anak muda yang akrab dengan media sosial, Gazan mengandalkan situs jejaring pertemanan untuk mempromosikan Zanana. Instagram, Twitter dan Line menjadi media sosial andalannya. Dia tak segan mengirim produk gratis kepada selebritas Instagram, atau selebgram, demi mendapatkan promo gratis dari sang artis.

Gazan juga membuntuti produk lain yang mempromosikan produknya di Instagram. Tak jarang, ia meminta barter kontak endorser dengan produsen produk lainnya. Selain itu, dia menggunakan iklan berbayar dan sejumlah acara offline untuk melejitkan Zanana. Jalur reseller digarapnya dengan sistem pembelian putus seperti penjual keripik online lainnya. “Kami memiliki SOP harga minimum dijual Rp 20 ribu. Jika menjual di bawah itu akan dihentikan. Jabodetabek Rp 20 ribu. Luar Jawa di atas Rp 22-25 ribu,” ia menguraikan.

Perlahan tetapi pasti, kesuksesan diperolehnya. Tahun 2014 menjadi momentum keberhasilan Zanana karena kemasan baru diperkenalkan. Bulan puasa menjadi musim panen Gazan dengan kenaikan omset 30% atau mencapai 5 ribu bungkus per bulan. Tahun 2015 penjualannya lebih dahsyat lagi, mencapai 15-20 ribu bungkus per bulan dengan cokelat menjadi varian terfavorit. Saat ini, Zanana yang mempekerjakan 13 karyawan sudah tersebar ke 70 kota lebih, dengan mayoritas di Jabodetabek dan terdapat 500 lebih reseller.

Untuk menambah kapasitas produknya, dia pun kini tengah berencana menggandeng pondok pesantren di Ciamis, Jawa Barat. Rencana yang siap digulirkan pertengahan 2016 ini akan memanfaatkan lahan tidur milik pondok pesantren tersebut, sekaligus memberdayakan para santrinya untuk menggoreng langsung pisangnya, sehingga ponpes mendapat nilai tambah lebih.

Tahun ini dia menargetkan memasuki kafe dan ritel seperti Circle K dan Kem Chicks. “Selain itu, tahun ini baru akan pakai distributor. Dengan adanya reseller, kami tahu jumlah permintaan produk. Daripada reseller ambil ke Bandung, lebih baik satu reseller dibawahkan distributor,” tuturnya.

Lebih ambisius lagi, tahun ini dia berencana merambah pasar ekspor, ke Asia dan Eropa. “Sudah ada permintaan ekspor ke Belanda. Tapi terkendala legalitas. Saat ini kami memiliki kemasan baru. Orang Belanda menyukai rasa matcha dan balado, tapi ketika mereka buka dan melihat pakai plastik, mereka tidak menyukainya. Sehingga kami ganti kemasan tidak menggunakan plastik dan kedap udara. Jika dulu pakai plastik tahan empat bulan, dengan kemasan baru bisa setahun,” paparnya.

Gazan menuturkan, orang Belanda mengenal produknya dari AWEX (Kadin Belanda) yang mendapatkan data dari Bank Indonesia, karena dia menjadi UKM binaan BI. “Kebetulan mereka cari produk Indonesia yang berbahan lada, pisang, gula aren. Kemudian mereka lihat profil saya dan tertarik,” ujar Gazan yang kini memilih membesarkan bisnis dulu dan menunda belajar ke jenjang S-1.

Yoris Sebastian, praktisi dan konsultan kreatif dari OMG Consulting, menjelaskan, persaingan di bisnis keripik sangat tinggi. Meski demikian, Zanana menurutnya telah memiliki keunggulan di kemasan. “Rasanya juga cukup kreatif dan kekinian,” kata Yoris. Selanjutnya, imbuh dia, Zanana harus mengejar kualitas produk.

Sistem distribusi Zanana pun dipandang Yoris cukup tepat. “Walau kini mereka juga harus pikirkan inovasi kemasan sehingga untuk pengiriman ke Batam, Balikpapan dan kota-kota besar lainnya benar-benar efisien dan tetap terjaga kualitasnya,” ujarnya.

Yoris juga menyarankan agar Gazan mengalokasikan dana pengembangan produk. Selain itu, komunitas penggemar Zanana harus diperkuat. “Manfaatkan mereka juga untuk referral,” saran Yoris. Reseller, lanjut Yoris, juga harus digarap secara kreatif sehingga bisa mengubah mereka menjadi believer, bukan sekadar kemitraan lagi.

Tak kalah penting, Zanana harus menyambangi banyak event yang relevan. “Semakin sering hadir di acara yang variatif akan menambah konsumen atau reseller baru, jauh lebih efektif dibanding buka satu toko offline,” ungkap Yoris.

Eddy Dwinanto Iskandar,

Reportase: Tiffany Diahnisa

Riset: Muhammad Rizki

The post Gazan Azka Ghafara, Menyantap Gurihnya Bisnis Keripik Pisang appeared first on SWA.co.id.

Melancong Sambil Berkontribusi Sosial

$
0
0
Sociotraveler

Bisnis tak harus mencari uang semata. Sembari berbisnis, kontribusi sosial pun bisa diberikan. Prinsip itulah yang diyakini Ahadin Syarifudin Fahmi dalam menjalankan bisnis travel dan event organizer. Tak seperti jasa perjalanan lainnya yang cenderung hanya melancong ke satu tempat, Sociotraveler yang dikelola bersama tiga rekannya, menawarkan jasa perjalanan dan kontribusi sosial dalam layanannya.

SociotravelerContohnya paket Dieng Culture Festival tahun 2014 dan 2015. Saat itu, selain ada program trip reguler, Sociotraveler memberikan tambahan kegiatan sosial #saveourenvironment: mengajak peserta mendaki Bukit Sikunir dan membersihkan sampah. Tak kurang dari satu truk sampah terkumpul saat itu.

Ada pula program #KelanaKenawa yang mengusung tema resik pantai. Para peserta diajak bersih-bersih di Pulau Kenawa-Pulau Paserang (Sumbawa Barat), dan Pulau Gili Kondo (Gili Bidara, Gili Kapal, Gili Petagan, Gili Lampu) di Lombok Timur.

Program lainnya: paket #CintaGunung. Peserta menggalang dana untuk pemulihan prasarana masyarakat yang terkena dampak kebakaran hutan Gunung Merbabu, Yogyakarta. Lalu #SnorkelingSchool yang menawarkan pengalaman unik dalam ber-snorkeling. Tak hanya snorkeling, peserta diajari bagaimana menanam terumbu karang dan melihat biorock (media penanaman terumbu karang yang dibuat oleh manusia).

Dirintis sejak 2014, Sociotraveler digawangi Fahmi, Septyan Bayu Aggara, Pramudya Arif dan Shinta Kumala Dewi. Mereka berbagi tugas: konsep perjalanan, media, fotografi, teknologi informasi, dan keuangan. “Sociotraveler ini mimpi kami untuk membangun pariwisata Indonesia. Kami prihatin dengan objek wisata yang masih kurang dikelola dengan baik,” kata Fahmi, pehobi fotografi dan desain grafis lulusan S-1 Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, Semarang.

Secara konsep, Sociotraveler menggunakan konsep backpacker, tetapi ditambah konsep pelayanan yang lebih kuat. “Target pasar kami, para karyawan perusahaan yang kurang piknik dan terlalu lama tertekan oleh kebosanan pekerjaannya,” ujar Fahmi. Biasanya sebelum dilakukan perjalanan wisata, timnya lebih dulu menyurvei lokasi dan menjalin kemitraan dengan masyarakat di sekitar tujuan wisata yang tergabung dalam masyarakat Kelompok Sadar Wisata.

Selama ini kisaran peserta dalam setiap perjalanan bervariasi: 8-50 orang, bergantung pada besarnya peminat. Bahkan paket Jomblo Mendaki Rinjani diikuti 57 orang.

Dengan jumlah peserta yang variatif, otomatis pendapatan Sociotraveler setiap perjalanan juga beragam. “Jika tripnya kecil dengan peserta belasan, rata-rata bisa mengantongi Rp 15-20 juta. Namun untuk trip besar bisa di atas Rp 100 juta,” kata Fahmi, kelahiran Sidoarjo, 20 Agustus 1992.

Yang menarik, untuk mengawali bisnis ini, modal Fahmi dkk. boleh dikatakan minim. “Waktu bikin trip ke Dieng dengan gerakan #DiengBersih, kami cuma keluar duit Rp 250 ribu untuk survei. Dari situ keuntungan kami putar,” kata Fahmi.

Untuk memasarkan jasanya, keempat sekawan cenderung menggunakan media online yang murah meriah: media sosial dan website. Termasuk melakukan promosi ke berbagai akun Instagram. “Melakukan improvisasi di bidang periklanan menjadi salah satu ujung tombak promosi trip, didukung dengan improvisasi tulisan untuk menggaet calon peserta trip Sociotraveler,” Fahmi menjelaskan kiatnya.

Ke depan Fahmi ingin mengarahkan Sociotraveler agar banyak menggarap corporate gathering, study tour dan family gathering. “Ya, kami akan mengajak peserta dalam skala besar untuk melakukan perjalanan sekaligus menyebarkan virus kebaikan. Juga akan melebarkan destinasi wisata setiap tahunnya. Tahun 2016 akan ada destinasi internasional,” ucapnya. Saat ini mereka sedang menyiapkan paket #MenapakKinabalu di Sabah, Malaysia.

Sri Niken Handayani dan Sudarmadi

The post Melancong Sambil Berkontribusi Sosial appeared first on SWA.co.id.

Fajri Mulya Iresha, Memberdayakan Masyarakat dengan Bank Sampah

$
0
0
Fajri Mulya Iresha

Jika dikelola dengan baik, sampah mestinya mempunyai nilai ekonomis. Pemikiran itu yang menginspirasi Fajri Mulya Iresha untuk mengembangkan lembaga bank dan pengolah sampah bernama Zero Waste Indonesia (ZWI). “Saya melihat sampah menjadi salah satu masalah serius di lingkungan saya, Kelurahan Kukusan dan Kota Depok secara umum. Tapi di balik permasalahan itu, ada nilai ekonomisnya,” kata Fajri. Melalui ZWI, Fajri mampu memberdayakan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya untuk mengumpulkan sampah yang kemudian disetorkan ke bank sampah.

Fajri Mulya IreshaMenurut Fajri, pergulatannya dengan sampah dimulai ketika ia dan temannya mengikuti ajang ITB Entrepreneur Challenge pada 2013. Dari acara itu, mereka mendapat dana hibah Rp 10 juta dari Kementerian Koperasi dan UKM. Uang hibah tersebut mereka gunakan untuk mengembangkan bank sampah. “Sebelumnya, kami sudah membuat bank sampah kecil-kecilan di daerah kos-kosan di Kukusan Teknik (Kutek),” ungkap Fajri. Setelah itu, mereka berpikir harus memiliki lahan cukup luas. “Kami pakai gudang di belakang kos-kosan, tapi kemudian diprotes warga karena mengundang banyak nyamuk,” cerita Fajri seraya tertawa.

Akhirnya mereka memutuskan menyewa sebidang lahan, masih di wilayah Kutek. Sebelumnya lahan itu adalah tempat pembuangan sampah liar. “Tiga bulan awal kami membersihkan sampah yang tingginya mencapai tiga meter. Orang yang melihatnya mungkin akan menyangka kami orang gila,” kata Fajri.

Awalnya mereka mempelajari jenis sampah dan bagaimana cara pengolahannya. Mereka berpikir, kalau sampah itu cuma dikumpulkan lalu dijual, tak banyak nilai tambahnya. Dan, selama ini, menurut Fajri, umumnya bank sampah berhenti usahanya karena tidak mampu menawarkan nilai tambah. “Akhirnya kami pun patungan berinvestasi untuk membeli mesin pencacah plastik, agar kami bisa menaikkan nilai sampah itu sendiri dari pencacahan plastik tersebut,” kata sarjana dan magister Teknik Lingkungan dari Universitas Indonesia ini.

Mereka menjalin kerja sama dengan bank sampah lain yang rupanya juga masih bingung dalam pengolahan sampahnya. Fajri dkk. lantas membuat sistem penjemputan dan sistem tabungan sampah. Pihaknya juga menggelar pertemuan dengan kalangan ibu-ibu setiap 6 bulan sekali untuk menambah semangat mereka. “Kami mendapat sampah dari dua sumber, yaitu dari bank sampah dan lapak pemulung,” ujar Fajri. Pasalnya, jika mereka hanya mengandalkan pasokan dari bank sampah, setiap bulannya cuma mampu mengumpulkan 1-2 ton sampah plastik. Padahal, kapasitas mesin pencacah plastik milik mereka mencapai 1 ton per hari.

Lucunya, walaupun berniat membantu, Fajri mengaku masih sering kena tipu. Misalnya, suatu kali ketika membeli sampah plastik yang sudah dikarungkan, di dalamnya terdapat batu dan beton, sehingga timbangannya menjadi berat. Namun, masalah yang sering terjadi, jenis plastiknya tidak seperti yang dipesan. “Kami kerap menerima jenis plastik yang keras atau rigid,” ujarnya.

Bagi Fajri, tantangan yang paling dirasakannya adalah kebutuhan akan modal untuk membeli mesin dan alat transportasi yang tinggi. “Kami masih membutuhkan mesin pengering dan mobil pikap,” ungkap Fajri terus terang.

Sejauh ini, perjuangan Fajri tampaknya tak sia-sia. Saat ini, ZWI telah membina 25 bank sampah yang masing-masing rata-rata melibatkan sekitar 30 kepala keluarga. ZWI sendiri mempekerjakan 7 orang sebagai karyawan plus 15 sukarelawan. Karyawan ZWI berasal dari beragam latar belakang: pemulung, pemuda pengangguran, bahkan ada orang yang sebelumnya diasingkan masyarakat (karena menderita penyakit kulit) dan seorang mantan pecandu narkoba. Mereka diberdayakan dengan diberi upah yang layak, makan dan tempat tinggal.

Hingga sekarang, ZWI telah berhasil mengolah 200 kg sampah plastik per hari. Kliennya pun terus bertambah. Termasuk sejumlah industri pengolahan ulang plastik, antara lain PT Sumber Plastik, CV Nusantara Jaya Plastik, dan PT Sumber Jaya Plastik. “Karena sampel kami bagus, jadi bisa masuk,” Fajri mengklaim dengan bangga. Ia mengungkapkan, omset per bulannya bisa mencapai Rp 30 juta dari bisnis pencacahan sampah plastik ini. “Tapi laba bersih memang masih kecil, karena fluktuasi harga plastik saat ini dan kapasitas mesin yang belum maksimal,” katanya beralasan.

Menurut Fajri, saat ini sumber sampah yang diterimanya masih dominan dari lapak pemulung. Ia berharap, ke depan, komposisinya berubah: mayoritas dari bank sampah (warga).

Fajri mengaku masih punya mimpi untuk mengatasi permasalahan sampah organik. Untuk itu, ia hendak mengembangkan ZWI dengan membaginya dalam tiga bagian. Pertama divisi riset. Ia mengaku tim risetnya sudah sampai ke London untuk penelitian mengenai kompos yang dapat dijadikan filter air untuk limbah. Kedua, impak. Tim ini nanti yang akan berhubungan dengan masyarakat. Ketiga, media. Tim ini nanti akan menyebarkan aneka informasi mengenai bank sampah.

Pengabdian Fajri mendapat dukungan dari salah seorang relawan, yakni Amanda Putri Ayu. Ia telah dua bulan bergabung dengan ZWI. “Saya tertarik bergabung, karena ingin berkontribusi bagi lingkungan, sehingga Depok tetap asri dan sampahnya bisa berkurang,” ungkap Amanda. Ia berharap, pihak ZWI lebih sering mengadakan penyuluhan, karena banyak kaum ibu yang sebenarnya cukup antusias untuk mengikuti kegiatan di bank sampah ini.

Maria Hudaibyah Azzahra & A. Mohammad B.S.

The post Fajri Mulya Iresha, Memberdayakan Masyarakat dengan Bank Sampah appeared first on SWA.co.id.

Seto Anggoro

$
0
0
Seto Anggoro

Bagi Seto Anggoro, bermain basket bukan hanya untuk olahraga, melainkan bermanfaat pula meningkatkan soft skill. “Ini adalah momen bersosialisasi di lingkungan kerja. Di arena basket, saya berkenalan dengan banyak orang dari divisi lain dan dapat belajar banyak dari mereka,” ucap Manajer Pemasaran Samsung ini.

Seto AnggoroSeto mulai bergabung di Samsung pada akhir 2013. Sebelumnya, dia pernah bekerja di Bank Artha Graha sebagai customer service selama setahun. Lalu, dia pindah ke Bank ABN Amro di bagian corporate credit card juga setahun. Kemudian, berlabuh ke Asuransi Adira empat tahun. Setelah itu, pindah lagi ke Asuransi AIG selama dua tahun.

Menurut saya, berpindah-pindah industri dari bank ke asuransi, lalu ke industri consumer electronic adalah hal yang bagus, karena itu menambah wawasan, pengetahuan dan ilmu. Ketika kerja di bank, saya jadi tahu dunia dan bisnisnya seperti apa. Ketika di asuransi dan industri elektronik pun begitu,” ujar pria kelahiran tahun 1983 ini.

Awal kerja di Samsung, Seto ditugasi mengembangkan bisnis microfinance, karena mungkin mempertimbangkan pengalamannya pernah kerja di Adira saat menangani bisnis leasing atau pembiayaan. Saat itu, Samsung ingin melakukan one stop shopping untuk pembelian produk Samsung sekaligus pembiayaan secara mengangsur.

Setelah di microfinance, Seto mendapat tugas tambahan menangani kerja sama Samsung dengan perbankan dan operator seluler. Tujuannya, agar konsumen bisa mendapatkan cicilan 0% dan cash back dari bank penerbit kartu kreditnya. Sementara itu, untuk kerja sama dengan operator, Samsung minta bundling didukung kuota data.

Sekarang, Seto dipercaya menangani penjualan Samsung kategori tablet, aksesori dan wearable. Positifnya, lulusan S-1 Sastra Rusia dari Universitas Indonesia dan S-2 Pemasaran dari Universitas Trisakti ini banyak belajar berbagai hal, termasuk bidang pemasaran.

Lantas, inovasi apa yang dilakukan? “Sekarang misalnya, pasar tablet menurun karena bersaing dengan smartphone yang ukurannya juga mulai besar. Yang kami lakukan di sini adalah membuat sesuatu yang bisa menjadi market demand. Jadi kebutuhan pasar apa, maka kami sediakan. Lalu, kami buat co-marketing, misalnya bekerja sama dengan Indovision. Jadi kalau orang membeli tablet Samsung, ia bisa menonton 60 channel Indovision secara gratis dalam waktu tertentu,” Seto menguraikan.

Targetnya untuk meningkatkan pangsa pasar dan profit Samsung. Kalau untuk karier, dia ingin dipromosikan lagi tahun depan. “Cara untuk mendapatkan prestasi, intinya bagaimana saya bisa terlihat (shinning) di internal perusahaan, karena yang akan menilai saya adalah manajemen dan para bos. Caranya, agar bisa menjadi shinning, saya harus bisa melakukan sesuatu yang impactful untuk perusahaan yang bisa meningkatkan penjualan,” Seto berbagi tip tentang sukses kariernya.

Eva M. Rahayu/Nerissa Arviana

The post Seto Anggoro appeared first on SWA.co.id.

Jemi Ngadiono, Anak Petani yang Menggaungkan Komunitas 1.000 Guru

$
0
0
Jemi Ngadiono

Pil pahit dialami Jemi Ngadiono, pendiri Komunitas 1.000 Guru, lantaran terpaksa putus sekolah. Penyebabnya, kondisi perekonomian keluarganya yang pas-pasan. Orang tuanya berprofesi sebagai petani. Jemi pun terpaksa bekerja serabutan demi bisa melanjutkan pendidikannya. Ia menyisihkan penghasilannya agar bisa membiayai sekolahnya di SMK 24 Jakarta Timur, dan merampungkan kuliahnya tahun 2008 di Jurusan Penyiaran, Bina Sarana Informatika, Tangerang Banten. Kini, Jemi menjelma sebagai social entrepreneur karena menggaungkan kepedulian sosial sambil piknik (traveling) ke sekolah di daerah pedalaman.

Jemi NgadionoSekadar kilas balik, Jemi mendirikan Komunitas 1.000 Guru ketika masih kuliah. Waktu itu ia sudah bekerja di salah satu media elektronik. Tugasnya merekam gambar dari aneka peristiwa yang terjadi di daerah pedalaman. “Saya melihat kondisi sekolah di daerah pedalaman memprihatinkan, dan muridnya tidak memakai sepatu,” ia menceritakan. Hal itu membangkitkan tekadnya untuk berkontribusi nyata bagi dunia pendidikan. Lalu, dia membuat akun Twitter @1000_guru pada Agustus 2012.

Ia acap kali mengunggah kegiatannya serta foto-foto yang menggambarkan kondisi dan para murid di daerah terpencil yang dikunjunginya ke akun Twitter-nya itu. “Saya tidak menyangka kalau responsnya cukup baik. Dalam kurun waktu satu tahun, jumlah follower-nya mencapai 30 ribu,” ungkapnya. Kebanyakan pengikut akunnya itu ingin turut serta dalam kegiatan yang dilakoni Jemi. Berangkat dari hal itu, ia lalu mencetuskan Komunitas 1.000 Guru yang dideklarasikan pada November 2013. Komunitas ini, Jemi menjelaskan, tidak terafiliasi dengan lembaga pemerintah. Aktivitasnya adalah mengajak peserta menjelajahi (open trip) wilayah terpencil yang berlangsung selama tiga hari (Jumat-Minggu).

Jemi memulai kegiatannya tahun 2013 dengan menyusuri daerah pedalaman di Rangkasbitung, Banten. Pesertanya hanya 9 orang (sukarelawan). Selanjutnya, jumlahnya membengkak lantaran tingginya minat masyarakat. Agenda kegiatannya: mengunjungi berbagai objek wisata ala backpacker. Tak hanya itu, dia menyelipkan kegiatan sosial karena peserta diharuskan mengajar para murid sekolah atau memberikan bantuan untuk memperbaiki bangunan sekolah atau memberikan alat-alat tulis. Jemi menamakan programnya itu Traveling and Teaching (TnT). “Kini, progam TnT berlangsung setiap bulan di daerah terpencil. Kami sudah memiliki 38 cabang regional di 30 provinsi,” ujarnya. Jakarta menjadi pusat komando Komunitas 1.000 Guru, sementara cabangnya beroperasi di sejumlah wilayah, antara lain Bengkulu, Bandung, Kupang, Makassar dan Samarinda.

Jadi, lanjut Jemi, masing-masing cabang mengadakan open trip TnT setiap bulannya ke desa terpencil. Biasanya, kegiatan peserta di hari Sabtu memberikan materi pelajaran di sekolah. “Materi ajarnya ringan, yakni mengenai ilmu dasar seperti geografi, biologi dan sebagainya,” ungkapnya. Adapun aktivitas di hari Minggu mengunjungi destinasi wisata. Alih-alih menginap di hotel, para peserta menumpang di rumah warga. Tujuannya, menjalin ikatan emosional antara sukarelawan dan warga setempat. Porsi aktivitas mengajar disesuaikan dengan kondisi di suatu daerah. Kegiatan mengajar mencapai 60% apabila jumlah lokasi wisatanya tidak banyak, sedangkan kegiatan jalan-jalan 40%. Sebaliknya, durasi untuk jalan-jalan akan lebih dominan apabila jumlah objek wisatanya lebih banyak.

Lantas, berapa tarif yang dipatok setiap kali perjalanan? “Tarifnya tergantung wilayahnya, rata-rata berkisar Rp 300 ribu sampai Rp 1 juta per orang,” tutur pria kelahiran Tulang Bawang, Lampung, 11 Mei 1984 ini. Sebagian dana digunakan untuk kebutuhan peserta, di antaranya untuk konsumsi, kaus dan sepatu. “Sisanya yang sekitar 26% digunakan untuk donasi ke sekolah. Inilah uniknya perjalanan TnT,” tutur Jemi.

Selain traveling, komunitasnya juga menyediakan program beasiswa guru pedalaman dan kampanye moral bertajuk Hormati Gurumu. Beasiswa diberikan kepada para guru lulusan SMA atau sederajat. Agar tepat sasaran, Jemi dan timnya terjun langsung untuk menghimpun informasi mengenai guru atau sekolah yang layak mendapat bantuan. “Kami sudah memberikan beasiswa kepada empat guru di daerah pedalaman,” katanya.

Rhenald Kasali, pengamat kewirausahaan, menyarankan pengelola Komunitas 1.000 Guru harus selektif menjaring peserta yang akan menjadi guru. “Jika tujuannya untuk pendidikan, harus selektif memilih gurunya karena seorang guru harus berintegritas,” kata Rhenald. Jemi menambahkan, peserta TnT berasal dari berbagai latar belakang profesi, semisal dokter, karyawan swasta, guru dan mahasiswa. “Namun, peserta yang kami fokuskan adalah peserta yang peduli masa depan pendidikan anak-anak,” ia menegaskan.

Ke depan, Jemi berencana mendirikan yayasan sebagai payung hukum bagi komunitasnya. “Kami mengurus prosedur administrasinya sejak Januari kemarin. Kalau yayasan ini sudah beroperasi, kami ingin memberikan bantuan untuk anak-anak di Nusa Tenggara Timur selama 12 bulan,” ungkap Jemi. Setiap bulan, Jemi bakal memberikan bantuan sebanyak 16 kali. Dia mengimpikan pendidikan yang layak bisa dinikmati oleh anak-anak di daerah pelosok dan guru semakin sejahtera.

Rhenald merespons positif kegiatan sosial yang dirintis oleh generasi muda seperti Jemi ini. “Kita harus mengapresiasinya,” ia menandaskan. Rhenald menganjurkan Jemi untuk menjelaskan misi komunitasnya itu sebagai kegiatan sosial atau unit bisnis. “Saya juga menyarankan peserta menghormati kearifan lokal di daerah-daerah dan mempelajari nilai-nilai budayanya,” ujar Rhenald.

Syukron Ali & Vicky Rachman

Riset: Yulia Pangastuti

The post Jemi Ngadiono, Anak Petani yang Menggaungkan Komunitas 1.000 Guru appeared first on SWA.co.id.

Hologram Indonesia Berambisi Menggebrak MICE

$
0
0
Jpeg

JpegTiga orang pemuda yang baru saja melepas toga wisuda ini telah berhasil membangun sebuah bisnis startup bernama Hologram Indonesia di bawah PT Garuda Solusi Kreatif. Daniel Andrew (25) dan Muchlis Alif (25), adalah alumni Teknik Informastika Swiss-German University tahun 2014. Saat lulus mereka membuat sebuah konsep bisnis yang dinamai Hologram Indonesia. Setahun kemudian mereka merekrut adik kelasnya Andrew Japar (24), untuk ikut bergabung. Apa dan bagaimana mereka membangun bisnisnya? Berikut wawancara SWA Online saat bertemu ketiganya d event Spica Runway – Startup Competition, 25/05/2016 lalu.

Bisa dijelaskan Hologram Indonesia ini bisnis apa ?

Hologram Indonesia (HI) adalah technology agency yang biasa support untuk event-event. Jadi kami lebih memberikan solusi. Ada beberapa solusi yang kami berikan, salah satunya hardware. Ada tiga solusi yang kami berikan, pertama Pra Event Indonesia, ini adalah solusi untuk membangun awareness target pasar event, sehingga masyarakat tahu akan ada event, tentang apa eventnya. Kedua, adalah Lumi Glass, ini adalah hardware, berupa kotak berisi hologram. Ini fungsinya untuk display, enggament, supayanya eventnya lebih menarik, dengan sentuhan teknologi, dan yang ketiga adalah Post Event Solution, nah event-event yang sudah diselenggarakan itu , setelah selesai mereka butuh report, data untuk evaluasi tim marketingnya atau brandnya. Kami bisa menyediakan datanya yang didapat dari Par Event Solustion dan hardware tadi.

Jadi produk hardware yang dijual HI untuk event itu apa saja ?

Kami punya Lumi Glass Holow Box, ini adalah sebuah ilusi tiga dimensi didalam boks empat dimensi sehingga nantinya terlihat seperti empat dimensi. Ini ada beberapa varian, mulai dari 19 inch sampai 30 inch, bahkan bisa satu panggung 3 x 5 meter. Fungsinya untuk menampilkan obyek-obyek untuk product launching, misalnya mobil, kulkas, AC dll. Untukk konser dan fashion show juga bisa.

Modal awalnya dari mana ?

Kami awalnya punya konsep dan diikutkan dalam kompetisi yang diadakan Kemenristek lalu menang dan dapat dana hibah, dari sana modal awal kami.

Awal ceritanya bagaimana samapai bisa membangun bisnis ini ?

Pertama adalah daniel dan muchlis yang start bisnis duluan tahun 2013, mereka dapat dana hibah dari Kemenristek. Akhirnya setelah sudah running, mereka bikin PT Garuda Solusi Kreatif (GSK). Dari visi dan misi mereka akhirnya dibikin unit bisnis yang namanya Hologram Indonesia, dan Forsecnet. Nah Hologram Indonesia ini adalah solusi untuk support event. Kalau Forsecnet ini untuk enterprise solution, software house, kami sudah kerjasama dengan Kominfo, karena memang target pasarnya adalah B2G, kami menyediakan layanan keamanan untuk menedeteksi aktivitas atau potensi hacker di seluruh dunia.

Lalu Forsecnet itu seperti apa perkembangan bisnisnya ?

Sejauh ini belum terlalu banyak kliennya, tetapi itu karena memang Forsecnet fokusnya untuk melayani sekuritas bagi situs – situs resmi pemerintah, jadi proyeknya berulang dengan satu klien yang sama.

Selama 1,5 tahun ini sudah berapa event yang ditangani dan kliennya siapa saja ?

Jumlah eventnya persisnya saya kurang ingat, ada lebih dari 10 event yang sudah kami tangani, kliennya antara lain Yamaha di Indonesia Motor Show 2015, Pfizer, Samsung, Bank Mandiri, Toyota, FIFGroup, BMKG, Magnum, Daikin.

Membangun bisnis seperti ini apa saja tantangannya ?

Waduh banyak sekali, tetapi yang paling menantang adalah kami semua backgroundnya IT dan tidak punya pengelaman kerja di perusahaan jadi kami sama sekali buta soal manajemen bisnis, seperti keuangan. Jadi kami mau tidak mau harus belajar manajemen keuangan bisnis. Seiring berjalan waktu jadinya harus belajar untuk mengelola finnace, cash flow dan sebagainya. Lalu strategi pemasarannya.

Siapa klien pertama Hologram Indonesia? Bagaimana pengalaman pertama melayani klien pertama ?

Klien pertama kami itu dibukakan koneksinya lewat dosen kami. Tetapi karena kami belum punya portofolio maka saat itu kami memasukan Kemenristek sebagai klien kami, padahal mereka ibarat inkubator kami hehe… tetapi Alhamdulillah dari sana lalu terus berdatangan permintaan.

Strategi pemasarannya seperti apa ?

Karena kami ini B2B dan B2G jadi kami masih mengandalkan direct selling, jadi nggak malu-malu mengetok pintu dan menawarkan jasa hehe… karena kalau mengandalkan media lainnya seperti sosial media untuk segmen kami yang B2B dan B2G kurang efektif.

Apa target dan rencana kedepan ?

Target besar kami untuk Hologram Indonesia, kami ingin main di industri MICE Indonesia, karena pasarnya besar. Dan masih belum banyak teknologi yang melayani atau mengakomodir kebutuhan MICE. Sampai saat ini belum ada bisa mengukur, industri MICE itu segmentasinya berapa besar? Nah lewat Post event Solution kami mau bikin terobosan untuk layanan ini. (EVA)

The post Hologram Indonesia Berambisi Menggebrak MICE appeared first on SWA.co.id.

D’Cost Kini di Tangan Anak “Sang Pendekar”

$
0
0
Darmawan Ekaputra

Setelah sekitar 10 tahun mendirikan dan membesarkan resto D’Cost Seafood, “sang pendekar” Christian Sia pun memutuskan undur diri. Dia menyerahkan tongkat kepemimpinan resto tersebut kepada anak pertamanya, Darmawan Ekaputra.

Darmawan Ekaputra

Darmawan Ekaputra

D’Cost didirikan Christian pada 2006, di bawah bendera PT Pendekar Bodoh. Saat ini resto D’Cost telah memiliki 87 cabang yang tersebar di berbagai kota besar di Indonesia, dengan didukung sekitar 2.600 karyawan. Tak hanya itu, sekarang D’Cost tak hanya dikenal sebagai resto seafood murah, melainkan telah memiliki beberapa jenis resto. Antara lain: D’Cost VIP, D’Sushi Bodo, D’Stupid Baker, dan D’Cost Quick.

Saya sudah tua, mungkin sebentar lagi game over. Jadi, harus ada yang meneruskan, sehingga harus diberi kesempatan untuk yang muda,” ujar pengusaha bergaya nyeleneh ini sambil terkekeh, mengungkap alasannya mundur dari D’Cost. “Kelebihan Darmawan? Nggak ada kayaknya. Cuma mirip saya saja, mukanya mirip dan sifatnya mirip. Jadi, sudah kayak fotokopi saja,” katanya lagi seraya tertawa ngakak.

Toh, Darmawan tidak mendapat posisi puncak begitu saja. Pria kelahiran 11 Juni 1988 yang akrab disapa Darek ini sudah “berlatih” selama dua tahun di D’Cost, sebelum diangkat sebagai CEO di perusahaan tersebut sekitar tiga bulan lalu.

Setelah menyelesaikan sekolah – mulai dari SD hingga perguruan tinggi, ia bersekolah di Australia – Darek sempat bekerja selama dua tahun di sebuah perusahaan pertambangan di Negeri Kanguru itu. Lalu, setelah setahun belajar bahasa Mandarin di Shanghai, Darek pulang ke Indonesia tahun 2014. Ia pun bergabung di D’Cost, dengan jabatan troubleshooter. “Waktu itu bingung mau diberi jabatan apa. Soalnya saya harus bisa mengerjakan semua hal, tidak hanya operasional, tapi juga keuangan, pemasaran, dan yang lainnya,” ungkap Darek sambil tertawa. “Setelah satu tahun saya diangkat menjadi deputi CEO, kemudian sekitar tiga bulan lalu saya diangkat menjadi CEO,” ia menambahkan.

Sebelum menjabat CEO, sebenarnya Darek telah banyak terlibat dalam aktivitas promo nyeleneh yang dilakukan D’Cost sejak awal. Misalnya, ketika awal buka D’Cost, Darek sendiri yang mendesain brosur untuk diiklankan di media cetak. Selain itu, Darek juga yang menyarankan kepada bapaknya untuk menyaring pelanggan yang datang di D’Cost pada promo Up To You Price, yang mana pelanggan bisa membayar terserah dirinya. Pasalnya, kalau tidak disaring, semua orang bisa masuk ke program ini.

Ada kejadian di awal promo tersebut, ada orang yang membawa kuli bangunan sampai 100 orang. Christian pun bertanya kepada Darek: adakah ide supaya tidak terjadi seperti ini lagi? “Akhirnya saya sarankan bahwa yang bisa mengikuti program tersebut hanya orang yang mempunyai kartu kredit. Sejak itu tidak ada lagi kejadian semacam itu,” ucap Darek sambil tersenyum.

Jadi, Darek mengakui, sejak tahun 2006 sebenarnya sudah membantu D’Cost. “Saat saya masih kuliah saya yang mendesain promo itu. Saya sering berdiskusi dengan papa saya bagaimana untuk bisa meningkatkan brand awareness D’Cost,” ungkapnya. Dari obrolan seperti itulah muncul ide membuat promo yang inovatif dan unik, yang belum pernah dibuat orang lain. “Selama 9 tahun ini, setiap kami buka resto baru pasti di bulan pertama itu ada promo Up To You Price,” katanya.

Selain itu, Darek juga orang di balik ide promo Pay by SMS D’Cost yang diluncurkan tahun 2013. Melalui promo ini pelanggan melakukan top up di kasir D’Cost, lalu saldonya masuk ke nomor ponsel pembeli. Jadi saldonya bisa ditransfer ke temannya. “Saat itu saya berikan ide itu. Saya yakin tidak bisa diduplikasi dan tidak bisa disalahgunakan,” ucap Darek.

Yang terbaru, Darek membuat program promo Pay by QR, yakni membayar memakai smartphone. Pelanggan bisa memindai kode QR yang ada di bill melalui aplikasi D’Cost. Semua pembayaran yang dibayarkan melalui aplikasi D’Cost ini akan dikembalikan (cashback), alias gratis. “Kami juga mempunyai program baru, di mana yang menjadi member D’Cost ini bisa mendapatkan benefit 100% cashback dan dijamin oleh BCA Life,” ungkapnya mengenai program kolaborasinya dengan perusahaan asuransi BCA Life.

Selain itu, saat ini Darek dan timnya sedang merancang program baru, yaitu Pendeta dan Copet Makan Gratis di D’Cost. Tujuannya supaya pendeta dan copet bertemu di D’Cost, sehingga copetnya bisa disadarkan oleh si pendeta.

Diklaim Darek, saat ini anggota Pay by SMS sudah mencapai 180 ribu. Sementara program Pay by QR masih dalam tahap sosialisasi. Adapun untuk program Hamil Baru Bayar diadakan seminggu sekali dan sudah ada 200 pasangan yang mengikuti. Dalam program promo nyeleneh ini, pasangan bisa mengundang 300 tamu, dekorasi dan makanan digratiskan dan hanya bayar ketika hamil.

Tak hanya membuat inovasi nyeleneh dalam promosi, seperti yang dilakukan bapaknya, Darek juga membuat beberapa perubahan di perusahaannya. Antara lain, membuat sebuah rekor: dalam satu tahun mampu membuka 16 gerai baru. “Kalau bisa, kenapa tidak kerja lebih cepat?” Darek menegaskan.

Untuk mendukung programnya tersebut, Darek pun memperkuat kualitas SDM-nya dengan memberikan pelatihan kepada sekitar 2.600 karyawan D’Cost. “Tantangannya saat ini kami ingin buka cabang baru dengan cepat. Bukan cuma tantangan keterbatasan funding tapi juga kualitas SDM, seberapa cepat kami bisa melakukan kaderisasi,” Darek memaparkan.

Untuk lebih mengembangkan D’Cost, ke depan Darek hendak mengembangkan konsep waralaba, sehingga bisa mendapatkan modal yang lebih besar. Dengan begitu, ekspansinya bisa lebih cepat lagi. Tak hanya itu, Darek pun merencanakan ekspansi D’Cost ke luar negeri. “Kami akan membuka di kota-kota besar seluruh dunia. Tahun depan kami akan buka di Manhattan, New York,” ungkapnya. Konsep yang hendak dikedepankan sama, yaitu: mutu bintang lima, harga kaki lima. “D’Cost bisa berhasil hingga saat ini karena konsep itu,” kata Darek yakin.

Rencana Darek mengembangkan banyak gerai D’Cost mendapat dukungan dari bapaknya. Menurut Christian, dengan membuka semakin banyak gerai D’Cost, pihaknya bisa membuka lapangan pekerjaan lebih banyak. Dan, tentu saja memberikan makan murah ke banyak orang di seluruh Indonesia, bahkan hingga ke luar negeri. “Saya harap dia bisa mementingkan kepuasan pelanggan daripada kepuasaan pribadi. Jadi kepuasan pelanggan dan kepuasan karyawan harus didahulukan,” ujar Christian penuh harap.

Sri Niken Handayani & A. Mohammad B.S.

Riset: Armiadi Murdiansah

The post D’Cost Kini di Tangan Anak “Sang Pendekar” appeared first on SWA.co.id.


Nike Yosephine

$
0
0
Nike Yosephine

Berawal dari seorang jurnalis kemudian menekuni bidang public relations (PR) memang sudah jamak terjadi. Begitu halnya yang terjadi pada diri Nike Yosephine. Mula-mula dia menjadi reporter di Jak TV tahun 2012, selanjutnya bekerja di ANTV selama 2,5 tahun. Pada 2015, dia memutuskan ingin belajar hal lain di luar jurnalistik, yakni dunia kehumasan. Pilihan pun jatuh menjadi PR PT Telkom (Persero).

Ketika pertama kali lulusan S-1 Hubungan Internasional dari FISIP Universitas Katolik Parahyangan, Bandung ini bergabung dengan Telkom, ada sentimen bahwa organisasi tersebut banyak Gen X, sehingga akan menyusahkan pekerjaan. Namun, Nike mematahkan sentimen tersebut. Justru, ia mengatakan bahwa bekerja dengan Gen X itu seru karena bisa saling berkolaborasi. “Gen Y memang selalu aktif dan energik, tetapi Gen X pengalamannya banyak sekali. Dari situ saya bisa berkolaborasi. Dari pengalaman Gen X, saya bisa menganalisis kekurangannya sehingga meminimalisasi risiko dari rencana yang sudah dibuat,” ujar wanita yang baru-baru ini menjadi PR Icon pilihan sebuah media.

Nike

Nike menjelaskan, seleksi menjadi PR Icon pertama dimulai dengan menuliskan esai mengenai PR. Visi Presiden Joko Widodo dalam mem-PR-kan Indonesia melalui hubungan masyarakat yang berkompeten menjadi tema yang diangkat dalam esai Nike. “Pak Jokowi bilang humas harus menduduki posisi yang strategis baik dalam pemerintahan maupun korporasi. Selain itu humas merupakan posisi terdepan untuk mempromosikan berita-berita mengenai Indonesia ke khalayak luas. Humas jangan hanya menjalankan perintah atasan, tetapi juga harus memberikan masukan apa yang sedang terjadi di luar pemerintahan dan korporasi,” kelahiran Karawang, 27 Desember 1989 ini menguraikan penjelasan Presiden Jokowi.

Menurutnya, PR Indonesia memiliki hashtag #PRIndonesiabergerak. Jadi PR Indonesia selalu melakukan kegiatan setiap harinya dan menyuarakan hal yang baik di media sosial. Nike sendiri mendorong agar masyarakat Indonesia lebih berbicara yang positif tentang Indonesia di media sosial. Untuk itu, dirinya kerap membuat kultwit (memberikan materi panjang via Twitter) mengenai Telkom dan mengajak para pengguna media sosial membagi hal apa saja yang sudah mereka lakukan untuk Indonesia melalui hashtag #untukIndonesia.

Bagi Nike, ada beberapa hal yang harus dimilki oleh seorang PR, yaitu: pertama harus supel. Seorang PR harus bisa bergaul dengan siapa saja. Dirinya mengaku bisa lumayan dekat dengan Bu Iriana dan Pak Jokowi karena sering mengajak ngobrol ajudan mereka. Kedua, pandai melihat situasi dan harus bisa menempatkan diri dalam situasi apa pun. “Di dunia PR, relasi yang paling dekat adalah dengan media. Saya menganggap rekan-rekan media itu sebagai teman sendiri bukan rekan kerja,” ujar dara yang bercita-cita ingin menjadi menteri ini.

Untuk terus mematangkan kemampuannya, Nike rutin menghadiri seminar mengenai PR dan berdiskusi dengan PR senior di Indonesia. “Saya ingin tahun 2016 ini bisa melanjutkan S-2, rencananya memilih jurusan human capital yang masih ada sangkut pautnya dengan public relations,” dia menegaskan.

Eva Martha Rahayu/Maria Huadibyah Azzahra

The post Nike Yosephine appeared first on SWA.co.id.

Kevin Joshua, Menjajal Startup SDM

$
0
0
Kevin Joshua

Buat perusahaan yang memiliki ribuan karyawan, pengelolaan sumber daya manusia (SDM)-nya tentu rumit, sekaligus berbiaya besar. Karena itu, perusahaan rela membayar mahal untuk sebuah peranti lunak yang mampu mengefisiensikan proses pengelolaan SDM-nya. Kevin Joshua jeli melihat peluang itu. Kelahiran Jakarta, 24 tahun silam, ini membesut Talenta.co, startup pengelolaan SDM berbasis komputasi awan.

Kevin JoshuaHanya dengan membayar biaya berlangganan beberapa ribu rupiah per karyawan, perusahaan sudah bisa mengakses berbagai layanannya yang mencakup sistem penggajian, absensi, cuti, tunjangan, bonus sampai perpajakan. Hebatnya lagi, walau baru seumur jagung, Talenta telah mendapat suntikan dana dari berbagai investor besar dan kini telah mengelola belasan ribu karyawan klien-kliennya di bawah bendera PT Talenta Digital Indonesia.

Kevin, sarjana sistem informasi lulusan Universitas Bina Nusantara, mulai membuat Talenta pada September 2014 dan meluncurkan versi betanya lima bulan kemudian dengan menggunakan Softlayer, sistem komputasi awan dari IBM. Mantan Manajer Komunitas di Kakaotalk mengungkapkan itu meluncurkan Talenta karena percaya ke depan akan banyak perusahaan yang mengalihkan pengelolaan SDM-nya dari sistem manual ke digital. Indikasinya, banyak anak pengusaha Indonesia calon penerus perusahaan yang kuliah di luar negeri dan telah familier dengan digitalisasi pengelolaan SDM. Karena itu, ia yakin masa depan bisnisnya akan cerah.

Untuk investasinya, Kevin mengaku mendapat suntikan dana dengan total nilai Rp 5 miliar; 40% dari East Venture dan Grup Mayapada pada September 2014, sisanya dari Fenox Venture Capital pada Agustus 2015.

Meski menjadi penyedia layanan SDM bermodel software as a service (SaaS) satu-satunya di Indonesia, ternyata Talenta tak mudah meraih klien. Kevin yang kini dibantu 13 karyawan masih harus terlibat langsung dalam proses presentasi hingga negosiasi harga dengan perusahaan calon kliennya. Pasalnya, banyak perusahaan di Indonesia yang belum akrab dengan model berlangganan peranti lunak melalui Internet alias SaaS.

Namun, kegigihannya berbuah manis. Kini, terdapat lebih dari 30 perusahaan dengan 15.000 karyawan yang menggunakan layanan Talenta. “Hampir semua perusahaan yang sudah bergabung dengan kami adalah startup bisnis juga, seperti Gojek, GrabTaxi, TopasTV, Qraved, MicroAd, Kudo dan ShopDeca,” ungkap Kevin.

Untuk model bisnisnya, perusahaan yang ingin menggunakan jasa Talenta.co sebagai platform SDM dikenai biaya Rp 10.000 per karyawan untuk perusahaan dengan karyawan kurang dari 100 orang. Perusahaan dengan jumlah karyawan di atasnya dikenai tarif Rp 5-8 ribu per orang.

Sejak diluncurkan setahun silam, Talenta hingga kini telah meraup omset Rp 300 juta. Meski demikian, Kevin mengaku tidak fokus pada penghasilan. Ia masih menargetkan untuk terus memperkenalkan bisnisnya lebih luas lagi. “Saya juga berharap ke depan platform ini tidak hanya bisa dinikmati oleh bagian SDM di perusahaan, tetapi juga karyawan dapat menggunakannya,” kata Kevin mengungkapkan rencananya.

Albert Lucius, pendiri Kudo, penyedia mesin kios untuk berbelanja online, mengaku perusahaannya telah menggunakan Talenta sejak April silam. Sejak itu, perusahaannya lebih mudah mengurusi absensi, pajak dan sistem penggajian karyawan. “Yang paling kerasa sih pengurangan jumlah kerepotan yang ditangani tim HR dan akunting karena semuanya, termasuk data absen, diambil secara otomatis,” ujarnya.

Menurut Albert, setelah membandingkan dengan sistem dari perusahaan lain, Talenta dipilihnya lantaran paling fleksibel dalam layanan dan sistem pembayarannya. Meski demikian, ia menyarankan agar Talenta mengintegrasikan sistemnya dengan layanan lain, seperti sistem akuntansi, reimbursement dan asuransi. “Lebih banyak integrasi dengan sistem lainnya. Itu akan menjadi key advantage bagi Talenta dibanding perusahaan lain,” katanya.(*)

Syukron Ali dan Eddy Dwinanto Iskandar

Riset: Armiadi Murdiansyah

The post Kevin Joshua, Menjajal Startup SDM appeared first on SWA.co.id.

Jagoan Animasi Explainer dari Surabaya

$
0
0
Sundy Arma Nempung

Kue bisnis digital yang terus mekar rupanya juga memikat tiga sekawan, Taufshwara Diasriandaru, Sundy Arma Nempung dan Aryo Sandi Yudo, untuk ikut membidiknya. Sejak Oktober 2013, mereka agresif mengibarkan startup berupa studio digital animasi 2D di Surabaya, bernama Jelasin.com. Layanan bisnisnya antara lain membuat video explainer animation untuk mempermudah startup dan pengelola bisnis dalam menyampaikan ide atau produk ke publik dan investor. Kini jumlah pelanggannya tak kurang 89 klien dengan 108 proyek, termasuk pelanggan dari luar negeri seperti dari Amerika Serikat, Inggris, Italia, Jepang, Australia dan India.

Taufshwara Diasriandaru & Sundy Arma Nempung

Taufshwara Diasriandaru & Sundy Arma Nempung

Taufshwara dkk. sebelumnya memang aktif di dunia digital dan sudah lama saling mengenal. Sundy, misalnya, adalah sahabat lama dan sempat belajar animasi secara otodidak bersama. Mereka pernah menjadi asisten dosen mata kuliah Animasi karena kemampuan animasi mereka jauh di atas teman-temannya di Jurusan Desain Komunikasi Visual, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Taufshwara juga sempat bekerja di Detik.com.

Cerita ketiganya dimulai pertengahan 2013 ketika Taufshwara mencoba mendekati kawan-kawannya pemilik startup lokal untuk membuatkan animasi explainer dengan harga khusus. Ternyata, relasinya dari Shoop menanggapi positif hingga video hasil karya Jelasin.com bisa tampil di event-event seperti idbyte dan ideabox. “Dari sana, komunitas startup Indonesia mulai mengenal Jelasin.com,” ujar Taufshwara mengilas balik. Produk utama studio Jelasin.com berupa explanatory animation atau explainer animation.

Explainer animation adalah sebuah elevator pitch yang didesain dalam bentuk visualisasi animasi guna menjelaskan keistimewaan bisnis/produk dengan harapan siapa pun yang melihatnya akan tertarik. Durasi animasi biasanya 60-90 detik. Kalangan komunitas startup sangat familier dengan istilah elevator pitch karena para founder membutuhkannya untuk menjelaskan bisnisnya ke kalangan calon investor atau mitra bisnis. “Explainer animation bisa ditampilkan di homepage di bagian paling atas, juga bisa digunakan sebagai video ads, atau ditampilkan di event pameran. Bahkan, bisa dipakai sebagai alat bantu saat pitching,” kata Taufshwara seraya menambahkan, target pasarnya mulai dari kalangan startup hingga korporasi mapan.

Klien dalam negeri Jelasin.com di antaranya Sribu, Solutalk, ScoopNews, Terminal Petikemas Surabaya dan Telkomsel. Adapun klien luar negerinya antara lain Designclue dari Jepang dan Grayns dari Malaysia. Harga paketnya terdiri dari seed package sebesar US$ 500 per 60 detik, startup package US$ 1.000 per 60 detik, dan corporate package US$ 2.000 per 60 detik.

Taufshwara menjelaskan, umumnya klien lokal datang karena sudah tahu manfaat produknya dari pelanggan lain. Sementara klien dari luar negeri umumnya tahu dari website dan proyek-proyek Elance dan oDesk — platform freelance global.

Taufshwara dkk. merasa senang bisnisnya terus meningkat pesat. Revenue tahun lalu sudah bisa di angka Rp 380 juta. “Tahun 2016 target naik 250%,” kata Taufshwara. Namun, mereka tak serta-merta merasa berpuas diri. Selain akan meluncurkan beberapa layanan baru, mereka juga sedang mengkaji kemungkinan membuka perwakilan di Jakarta, Singapura, Filipina, Malaysia, Turki dan Australia. “Kami sudah ada partner di Singapura yang membantu penjualan,” ujarnya. Ini artinya Jelasin.com siap terbang lebih tinggi, siap melahap kue digital lebih banyak.(*)

Sudarmadi & Jeihan Kahfi Barlian

The post Jagoan Animasi Explainer dari Surabaya appeared first on SWA.co.id.

Bisnis Keripik Buah Dua Sahabat

$
0
0
Keripik Buah Fruchips

Berangkat dari keinginan membesut bisnis sendiri, Chandra Suhandi dan Lius Kasdianto mendirikan bisnis keripik buah. Usaha yang mereka rintis belakangan membesar, bahkan diakuisisi salah satu grup perusahaan di Indonesia dan sukses menembus pasar ekspor.

Keripik Buah Fruchips

Lius Kasdianto, Putra Kimas & Candra Suhandi

Mereka berdua lulusan Teknik Sipil Universitas Tarumanagara. Waktu kuliah, mereka nyambi kerja di kontraktor, seperti halnya teman-teman mereka. “Gajinya rata-rata kecil padahal kerjaannya cukup berat. Dari situ kami terpikir membuka usaha,” ungkap Lius kepada SWA di kantornya, Jalan Tanjung Duren, Jakarta Barat.

Suatu hari di tahun 2011, Lius mendapat kiriman oleh-oleh keripik buah dari Thailand. Saat itulah Lius dan Chandra merasa mendapat panggilan bisnis yang tepat. “Di Indonesia waktu itu belum ada keripik buah yang sehat. Waktu itu musimnya makanan yang banyak vetsinnya seperti keripik. Nah, kami melihat healthy snack seperti keripik buah pasti berkembang,” ujar Lius, kelahiran Jambi tahun 1989.

Lius dan Chandra pun meriset pembuatannya. Lalu, membeli mesin pengolahnya seharga Rp 11 juta di Surabaya, lalu diboyong ke dapur mereka di Bogor. “Kami menyebut proses pengolahannya divakum, jadi kadar minyak dan airnya disedot. Teknologinya kami namai slow cook dengan panas 70 derajat Celcius. Jadi, kadar airnya tidak berkurang. Gampangnya, masak sup itu kan makin asin karena airnya menguap. Nah, contohnya seperti itu, hanya bedanya kami divakum,” kata Chandra, kelahiran Bogor tahun 1988.

Banyak uji coba untuk menemukan resep awal yang tepat. Pelajaran yang didapat saat pelatihan menggunakan mesin itu ternyata tak banyak bermanfaat di lapangan. Pasalnya, beda buah, beda perlakuan. “Waktu itu kami diajari menggunakan mesin dengan mengolah buah pisang dan terlihat mudah. Ternyata memang buah pisang prosesnya paling mudah. Ketika dibawa ke Bogor dan pakai buah lain, prosesnya sulit setengah mati,” ungkap Lius yang menangani bagian distribusi dan penjualan, sementara rekannya menangani produksi.

Setelah uji coba berkali-kali, setahun kemudian atau akhir 2012 ditemukan berbagai resep pengolahan buah menjadi keripik seperti pisang, nangka dan salak. Adapun keripik apel dan nanas yang pengolahannya dianggap paling sulit baru dirilis tahun ini.

Produk keripik buah yang diberi merek Fruchips itu sejak awal memang disasarkan untuk pasar menengah. Sekantong Fruchips kemasan 40 gram dibanderol Rp10 ribu-15 ribu, tergantung pada jenis buahnya. Chandra dan Lius mengaku tidak menggunakan bahan campuran apa pun ke dalam produknya, sehingga biaya harga pokok produksinya cukup tinggi dibanding camilan ringan lainnya yang berukuran sejenis.

Lantaran modal mereka sangat minim, Lius dan Chandra sangat hati-hati memilih pemasok buah. Demi menekan biaya, mereka sampai nongkrong di depan Pasar Induk Kramat Jati, Jl. Raya Bogor, Jakarta Timur, untuk mencari pemasok berharga miring. “Kalau beli di dalam pasar, harganya sudah mahal. Di depan pasar kan banyak sopir truk dari luar kota. Mereka kami tanya, bawa buah apa? Dari mana? Misalnya salak banyak dari Jawa Tengah, nanti kami minta kontaknya, dan mereka akhirnya jadi pemasok kami,” tutur Chandra.

Anggaran pemasaran juga ditekan sehemat mungkin. Mereka menggunakan jalur daring dan media sosial untuk mempromosikan produknya. Bazar-bazar di Jakarta pun gencar mereka sambangi demi memperkenalkan Fruchips.

Tak disangka, melalui bazar itu, jalan mereka ke pasar modern terbentang. Ceritanya, dalam satu kesempatan bazar di Grand Indonesia, ada seorang Manajer Promosi Indomaret yang menyambangi gerai Fruchips. Setelah mencicipi keripiknya, beberapa hari kemudian manajer tersebut menghubungi kembali dan kemudian memperkenalkan Lius dan Chandra ke bagian pengadaan produk Indomaret. “Mereka rupanya tertarik pada produk kami. Produk kami kan berkerja sama dengan petani lokal,” Lius mengenang.

Chandra menambahkan, salah satu faktor pemikat Fruchips adalah kemasannya yang atraktif dengan desain yang terkesan premium. “Teman kami dari jurusan desain yang merancangnya. Jadi, dapat desain bagus dengan harga teman,” ungkap Chandra.

Dari situ, jalur sukses terbuka lebar. Terlebih, pada akhir 2014 Fruchips diakuisisi Grup Kimas Sentosa, kelompok usaha yang bergerak di berbagai bidang seperti telekomunikasi dan laundry. Dengan menjadi bagian dari korporasi besar, langkah penjualan Fruchips pun makin gencar dan masuk ke toko modern lainnya seperti Hero, Loka, Total, All Fresh, Alfamidi, toko-toko buah, dan minimarket di berbagai apartemen.

Selain jangkauan kian meluas, pabrik Fruchips yang bernaung di bawah bendera PT Atala Inti Mandiri turut membesar. Demi mendekatkan dengan pusat bahan baku, pusat produksi dipindah ke Jawa Timur di pabrik seluas 3.000 m2 didukung empat mesin. “Untuk satu bungkus Fruchips, bahan bakunya bisa dari 1-5 buah segar. Kalau kirim ke Jakarta nanti berat di ongkos. Jadi, biar efisien, dibangun pabrik di sana, dekat bahan baku,” ujar Chandra.

Total produksi Fruchips per bulan mencapai 40 ribu kantong dan tahun ini ditargetkan dua kali lipat. Selain itu, pasar ekspor baru siap digarap. “Kemarin baru kirim ke Korea Selatan. Tahun ini, targetnya ada lima negara, di antaranya kami fokus ke Amerika Serikat dan Australia,” kata Chandra. Memanfaatkan MEA, negara-negara di kawasan ASEAN juga akan dibidik seperti Thailand, Malaysia dan Singapura. Juga, China yang pasarnya besar.

Hutama Putra Kimas, Direktur Strategi Merek Grup Kimas Sentosa, menyebutkan, perusahaannya tertarik mengakuisisi Fruchips lantaran kualitasnya yang mumpuni. “Produk mereka bagus dan mereka juga bercita-cita untuk tetap terlihat lokal. Akhirnya, kami bantu supaya bisa lebih masif dengan memindahkan pabrik dan masuk ke ritel,” ujar Putra. Dengan dukungan Kimas Sentosa, kini Fruchips menyebar di 2.000 gerai di Pulau Jawa, Sumatera Selatan dan Bali.

Alan Karyono, direktur PT Borwita Citra Prima yang mendistribusikan Fruchips di Ja-Tim, menyebutkan pihaknya berhasil memasukkan keripik buah tersebut ke berbagai minimarket dan supermarket lokal di daerahnya seperti Bonnet, Pelangi, Ria, Talia, Rungkut Jaya, dan Master. “Setiap bulan terjual 200 bungkus dan terus bertambah,” ujarnya.

Alan berharap Fruchips lebih meningkatkan promosinya sehingga lebih mudah dikenali masyarakat. “Brand awareness-nya harus lebih dibangun lagi, terutama di Surabaya karena masih kurang dikenal,” katanya memberi saran.(*)

Aulia Dhetira dan Eddy Dwinanto Iskandar

Riset: Sarah Ratna Herni

The post Bisnis Keripik Buah Dua Sahabat appeared first on SWA.co.id.

Meriahkan Ramadhan dan Hut RI, BSM Fokus Penjualan Produk Ritel

$
0
0
bsm1_resized_2

Bank Syariah Mandiri (BSM) kini memfokuskan sosialiasi dan penjualan lima produk utama di segmen ritel yakni Tabungan Mabrur Junior dan Tabungan BSM, Gadai, Cicil Emas,... Read More

Viewing all 483 articles
Browse latest View live