Quantcast
Channel: SWA.co.id – Berita bisnis terkini, Diaspora Indonesia, Business Champions, dilengkapi dengan strategi dan praktek bisnis, manajemen, pemasaran, entrepreneur, teknologi informasi, keuangan, investasi, GCG, CSR, profil dan gaya hidup eksekutif.
Viewing all 483 articles
Browse latest View live

Berempat Besarkan Bank of Blood

$
0
0
Jessica Meilya & Aldrich Zuriel

Sebuah nilai pembeda yang mencuat dalam bisnis menjadi jurus ampuh agar cepat dikenal masyarakat. Begitu pun yang dilakukan oleh empat anak muda lulusan Unversitas Pelita Harapan Jakarta yang mengibarkan bendera Bank of Blood. Melihat namanya jangan disangka bisnis mereka adalah bisnis berbau darah atau terkait dunia kedokteran. Bisnis mereka adalah bisnis minuman susu dengan keunikan pada kemasannya yang berbentuk seperti kantong darah.

Jessica Meilya & Aldrich Zuriel

Jessica Meilya (kiri) & Aldrich Zuriel

Ada 7 varian rasa minuman susu fresh warna-warni yang ditawarkan Bank of Blood. “Sebenarnya dari konsepnya sendiri bisa diisi jus atau teh, tapi kami mengisinya dengan susu, kami membuat susunya ini punya warna yang mirip darah. Pewarnanya sendiri hanya menggunakan essense tanpa tambahan apa pun,” ujar Aldrich Zuriel, pendiri Bank of Blood bersama tiga temannya, yaitu Mega Febriyanniety, Jesslyn Juventia, dan Jessica Meilya. Keempatnya rata-rata berusia 22-23 tahun.

Karena bisnisnya masih tergolong baru sejak Agustus 2015, maka dalam pemasarannya lebih banyak mengikuti dari bazar ke bazar dalam sebuah kegiatan plus dipromosikan melalui media sosial seperti Instagram. “Kalau dari bazar ke bazar kan orang masih penasaran terus, jadi mereka masih mau datang. Konsep Bank of Blood ini kan sebenarnya jatuhnya musiman,” ujarnya memberikan alasan.

Hasil penjualan dari bazar ke bazar pun tergolong memuaskan. Tentu saja angka penjualannya tidak menentu bergantung pada acaranya seperti apa, lokasinya di mana, dan waktunya kapan. “Kalau lagi bagus, kami bisa jual sampai 4 ribu kantong per event. Tapi rata-rata 1.000-an kantong per event, biasanya satu event itu bisa 3-4 hari,” katanya. Sementara omsetnya bisa dihitung. Penjualan 1.000 kantong atau 4 ribu kantong per acara dikali Rp 35 ribu (harga per kantongnya) sehingga omsetnya bisa mencapai Rp 35 juta atau 140 juta per acara. Dan pastinya dengan omset sebesar itu bisnisnya sudah balik modal dalam tempo cepat.

Sejatinya, bisnis empat sekawan ini masih tergolong bisnis rumahan. “Kami produksi rumahan. Dulu produksinya berempat saja. Malamnya bikin susu sampai subuh, paginya jaga bazar, kerja rodi pokoknya. Kalau sekarang sudah ada karyawan, ada pekerja 5-7 orang khusus untuk membuat susu,” katanya sambil menjelaskan kalau produk susunya hanya bisa bertahan satu hari, sedangkan kalau disimpan di kulkas bisa sampai tiga hari.

Untuk membangun bisnis ini, keempatnya patungan modal awal, baik dari kantong sendiri maupun dari orang tuanya. Total modal awal yang terkumpul mencapai Rp 50-70 juta. Modal awal ini digunakan untuk membeli berbagai perlengkapan, termasuk bahan baku kemasan produknya dari luar negeri dan untuk membayar biaya bazar. Untuk bahan minumannya semua berasal dari lokal.

Agar bisnisnya bisa berkembang, mewaralabakan Bank of Blood menjadi salah satu pilihan. “Sekarang baru ada franchisee di Surabaya dan baru di sana. Kami ajarkan semuanya. Kami berikan bahannya, jadi kami bertindak sebagai pemasok,” kata Aldrich. Pihaknya pun belum ada rencana membuat gerai permanen untuk Bank of Blood, karena masih disibukkan dengan selalu mengikuti berbagai bazar yang ada di Jakarta. Meski demikian, keinginan membangun kafe atau restoran selalu ada. Hanya saja, konsepnya tidak akan terkait dengan Bank of Blood.


Pesaing pun mulai bermunculan. Lucunya, kadang dalam sebuah bazar bertemu dengan pesaing. Syukurnya sampai sekarang masih banyak orang yang mencari yang original atau pertama. Kami tertolong sebagai merek pertama yang membawa konsep ini dan menjadikan konsumen hafal. Jadi meskipun di beberapa acara bertemu dengan pesaing, kami masih dicari oleh banyak orang,” ujarnya bangga.

Yoris Sebastian, pengamat inovasi bisnis melihat bahwa Bank of Blood itu unik, sehingga jadi bahan pembicaraan atau word of mouth. “Sekarang kuncinya ada di produk. Produknya harus benar-benar enak. Kalau sudah enak, terus tingkatkan kualitasnya. Banyak merek yang unik tapi kemudian rontok bukan karena tidak ada prospek masa depan, melainkan karena kualitasnya tidak bagus. Jadi walau sudah kuat di WOM, kualitas harus terus ditingkatkan,” ujarnya memberikan masukan

Kalau Bank of Blood benar-benar ingin berkiprah di bisnis makanan, peluangnya besar sekali ke depan. “Dengan popularitas yang mereka miliki, harusnya mereka bisa mencari investor untuk pengembangan bisnis mereka,” ujarnya. Berbisnis di usia muda pun tidak masalah selama rajin belajar dan jangan pernah berhenti berinovasi.

Dede Suryadi dan Aulia Dhetira

The post Berempat Besarkan Bank of Blood appeared first on SWA.co.id.


Inovasi Dua Sekawan Orbitkan Bornevia

$
0
0
Tim Bornevia, (foto: gepi.co)
Tim Bornevia, (foto: gepi.co)

Tim Bornevia, (foto: gepi.co)

Di Indonesia, belum banyak, bahkan bisa dibilang belum ada aplikasi berbasis web yang fokus pada Customer Relationship Management (CRM).

Nama-nama seperti Zendesk.com dan Salesforce.com adalah perusahaan yang sudah menggarap layanan konsumen dengan plafrom web di Amerika.

Melihat pasar yang masih terbuka sangat lebar, di tahun 2013 Benny Tjia dan Tjiu Suryanto mendirikan Bernavia. Sebuah nama yang diambil dari nama tempat kelahiran para pendirinya. Benny yang lahir di Jakarta atau Batavia dan Tjiu lahir di Borneo Kalimantan. Borneo dan Batavia, kira-kira itu asal kata dari Bornevia.

“Kebetulan saya dan Tjiu sama-sama pernah belajar di Amerika Serikat dan pernah punya pengalaman kerja di Amerika juga. Saya bekerja di San Francisco Bay Area untuk Microsoft (Divisi Yammer) dan Tjiu sempat bekerja di perusahaan produksen hardware,” jelas Benny saat dihubungi SWA Online (24/2).

Meski tidak mau menyebut nominal modal pendirian bisnis tersebut, Benny mengaku dalam perintisan tidak mengeluarkan dana pribadi sama sekali. Semua disokong oleh para investor. Pertama oleh seorang Angle Investor yang tidak mau disebut namanya dengan nominal yang juga tidak mau disebutkan. “Pokoknya ratusan juta lah,” jelas Benny.

Dalam perjalannya, setelah diluncurkan tahun 2014, Bornevia mendapat banyak kucuran investasi dari perusahaan modal ventura. Sebut saja dari East Ventures dan Beenos Partners (Netprice) Jepang. Bersama 11 tim yang bergabung di Bornevia, Benny mengincar segmen bisnis modern. Di dalamnya terdapat berbagai macam sektor bisnis, termasuk e-commerce dan semua bisnis berbasis online baik layanan maupun B2B.

“Kami juga banyak aktif di beragam forum daring yang menjawab kebutuhan sekitar kepuasan pelanggan. Dari sana, kami banyak mendapatkan banyak perhatian dari bisnis asing yang tertarik menggunakan produk kami,” jelas Benny yang mengklaim Bornevia sudah digunakan di 78 negara dengan 2,200 lebih active customers/ klien di dunia.

Lulusan University of Michigan Ann Arbor Amerika Serikat itu beralasan menawarkan jasa CRM lewat platform web sangatlah prospektif untuk ekspansi hingga ranah global. Sifatnya yang universal dan dibutuhkan oleh bisnis daring di negara mana saja, sangat membantu perluasan pasar. Bedanya dari setiap negara, media yang dipakai untuk berinteraksi dengan pelangan berbeda-beda. Bisa lewat email, live chat, media sosial dan lainnya. Secara garis besar, semua bisnis yang memiliki website akan membutuhkan Bornevia.

Dengan menggunakan Bornevia, semua history pelanggan yang komplain melalui email, media sosial atau live chat akan tergabung di satu wadah yang mudah diselesaikan. Selain itu, layanan lain yang ditawarkan Bornevia adalah bantuan integrasi, API dan juga support dan on-site training untuk bisnis yang berbasis di jakarta.

Lanjut Benny, di Indonesia sendiri Bornevia sudah menggandeng beberapa startup daring lain seperti bridestory, berrykitchen dan veritrans. Tidak hanya jago di dunia daring, rupanya korporasi besar seperti Kalbe Farma dan Trikomsel (Oke Shop) juga sudah menggunakan aplikasi besutan Benny ini.

Untuk menggunakan aplikasi ini, klien bisa membayar US$ 10 atau sekitar Rp 130 ribu setiap bulan dengan fasilitas full feature. Sedangkan untuk feature live chat hanya ditarif US$ 5 atau Rp 65 ribu per agen setiap bulannya. Agen adalah customer service representative nya. Seperti di call center, memiliki agen-agen yang menjawab call.

“Untuk mengetahui secara lengkap cara kerja Bornevia, kami berikan uji coba gratis selama 17 hari bahkan bisa satu bulan,” jelas Benny yang mengaku omzet yang diterima bisa mencapai ratusan juta sejak tahun 2015.
Ia juga menargetkan Return of Investment (ROI) yang sudah ditanamkan oleh para investor akan dicapai di tahun 2016. Sebuah target yang ambisius dan terencana dengan matang. Strategi mencapai target itu antara lain dengan melakukan program marketing bersama dengan perusahaan B2B lokal.

“Untuk pasar luar negeri, kami sedang melakukan program digital marketing yang berkelanjutan ke negara-negara yang ada klien kami, seperti Israel, Peru, India, Singapore, Inggris dan Amerika Serikat,” jelas Benny optimis target ROI di tahun ini akan tercapai.

Meski demikian, Benny mengaku hambatan terberat dalam bisnis yang ditekuninya adalah minimnya akses ke para praktisi yang berpengalaman dan sukses di bisnis menjual software berbasis web. Mayarotis mereka berdomisili di luar Asia, sehingga Benny dan tim sangat sulit mendapat mentor yang sesuai dengan bidangnya. (EVA)

The post Inovasi Dua Sekawan Orbitkan Bornevia appeared first on SWA.co.id.

Cara Joseph Aditya Menggarap B2B e-Commerce

$
0
0
Joseph Aditya

Terinspirasi nama warung nasi kucing langganannya di Semarang, yaitu Ora Lali, Joseph Aditya mengembangkan situs e-commerce dengan nama Ralali.com (www.ralali.com). Namun, bisnis Ralali yang dikembangkan Aditya (panggilannya), jauh dari bisnis nasi kucing kesukaannya dulu. Ralali adalah online marketplace untuk kalangan korporasi (business-to-business/B2B) yang berfungsi sebagai mediator antara pembeli dan penyedia barang kategori maintenance, repair & operation (MRO). “Selama ini, banyak perusahaan cukup sulit mencari barang kebutuhan mereka, sehingga perlu rekanan. Lalu saya buat Ralali ini yang menggabungkan semua pemasok,” ujar Aditya, pendiri dan CEO Ralali.com.

Joseph AdityaBisnis e-commerce yang ditekuni Aditya, rupanya tak jauh dari pengalaman dia sebelumnya. Selama 8 tahun, Aditya berkarier di sebuah perusahaan lokal di bisnis peralatan uji dan pengukuran untuk industri bernama PT Tridinamika Jaya Instrument. Di perusahaan ini, ia berkarier mulai dari sales representative hingga direktur pengelola.

Merasa sudah mencapai posisi tinggi di perusahaannya dan di sisi lain pengalamannya dirasa sudah cukup, Aditya memutuskan mengembangkan usaha sendiri di bidang e-commerce. Pada 2013 ia mendirikan Ralali.com, dengan bendera resmi PT Raksasa Laju Lintang. Pada masa awalnya, ia hanya dibantu oleh seorang operator, petugas peng-update web, dan seorang tenaga pemasaran. Uniknya, jenis e-commerce yang dipilihnya bukan menjual barang-barang konsumer, melainkan penyediaan barang kebutuhan industrial dan operasional perusahaan (MRO). Misalnya peralatan untuk cleaning service.

Jujur, awalnya ini iseng-iseng saja. Tapi ternyata responsnya sangat bagus,” kata lulusan Jurusan Commerce Management Deakin University, Australia ini. “Data terakhir, jumlah klien kami sudah di atas 20 ribu pelanggan, semuanya perusahaan,” ia menambahkan.

Menurut Aditya, keyakinannya terhadap bisnis yang dikembangkannya mulai muncul ketika ada pesanan pertama dari sebuah perusahaan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Nilai pesanannya sekitar Rp 200 juta. “Setelah ada order dari Ketapang, saya mulai benar-benar yakin bahwa (barang-barang) B2B juga bisa di-e-commerce-kan,” ungkap Aditya seraya tertawa. “Kami tanya mengapa mau menggunakan Ralali.com? Alasannya sangat sederhana: di Ketapang cukup sulit menemukan barang yang mereka cari sehingga adanya B2B e-commerce ini dinilai mereka sangat memudahkan,” ia menambahkan.

Sejak saat itu, bisnis Ralali.com terus berkembang. Tak lama kemudian, persisnya Juni 2014, Ralali mendapat pendanaan dari modal ventura asal Singapura, East Ventures. Pada Juni 2015, Ralali kembali mendapat funding sebesar US$ 2,5 juta dari dua investor ternama Jepang, yakni Beenoz Plaza dan Cyber Agent Ventures.

Saat ini, diklaim Aditya, Ralali.com memasarkan lebih dari 700 subkategori barang, seperti alat kesehatan, perlengkapan laboratorium, alat ukur dan inspeksi, alat pembersih, peralatan keselamatan, peralatan listrik, peralatan otomotif dan lain-lain. Total, lebih dari 50 ribu stock keeping unit dari 500-an merek. Jumlah pengunjung dari kalangan bisnis lebih dari 30 ribu user per bulan.

Jika dilihat dari nilai bisnis, kami sudah tumbuh 10 kali lipat,” ujar Aditya. Adapun jumlah SDM, dari hanya berempat, saat ini sudah berjumlah 150 orang. Nilai rata-rata untuk order berkisar Rp 8-15 juta per order. Bahkan, Ralali.com pernah mengirim crane seharga Rp 1,5 miliar. Untuk pengiriman barang, Ralali bekerja sama dengan beberapa perusahaan jasa logistik.

Menurut Aditya, ada beberapa hal yang membuat Ralali.com mendapat kepercayaan pasar. Antara lain, harga barang yang ditawarkan transparan karena melampirkan harganya. Model pembayarannya pun berbeda dari e-commerce pada umumnya yang tinggal menggunakan kartu kredit atau transfer. Maklumlah, pada transaksi di Ralali, bisa saja yang memesan dan yang akan membayar berbeda. Pasalnya, ini untuk kebutuhan bisnis atau perusahaan. Selain itu, untuk transaksi yang nilainya besar, ada term of payment-nya, misalnya wajib down payment 50% dulu.

Menurut Aditya, untuk urusan promosi pihaknya melakukan kombinasi: online dan offline. Berbagai kampanye dan acara pun digelar, walaupun lebih sebagai sponsor resmi dari suatu acara, seperti manufacturing expo. Hampir semua ekspo di Indonesia yang berhubungan dengan pameran industri, kami ikuti,” ucap Aditya.

Kendati begitu, diakui Aditya, ada beberapa kendala atau tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan B2B e-commerce MRO ini. Antara lain, penyediaan barang melibatkan banyak pihak, sehingga harga terus berubah. Selain itu, ketersediaan barang dan kecepatan pengiriman juga menjadi tantangan bagi Ralali.com, yang terkait dengan masalah infrastruktur.

Aditya menilai bisnis B2B MRO ini sangat cocok untuk wilayah di luar Jakarta yang sulit menemukan barang-barang untuk perusahaan. Hanya saja, infrastruktur di luar Jakarta masih sering menjadi kendala. Misalnya, ada kendala koneksi Internet dan pengiriman. Karenanya, Ralali.com membuka pusat distribusi di Balikpapan. “Model bisnis seperti Ralali ini masih baru. Tetapi kami yakin, ketika kami melakukan sesuatu dengan tujuan benar, maka akan ada jalan,” ujar Aditya. “Ke depan, kami akan luncurkan versi mobile app. Sebab, sekitar 60% visitor kami menggunakan fasilitas mobile,” ia menambahkan.

Kejelian Aditya masuk ke bisnis B2B e-commerce untuk barang-barang MRO diacungi jempol oleh praktisi TI Subhan Novianda. Menurut CEO Basajans Solution ini, Aditya masuk ke bisnis yang belum banyak pemainnya. Padahal, potensi bisnisnya sangat besar. Lembaga riset Frost & Sullivan memperkirakan, pada 2020 B2B e-commerce akan dua kali lebih besar dari B2C e-commerce. Nilai B2B e-commerce mencapai US$ 6,7 triliun, sedangkan B2C e-commerce US$ 3,2 triliun. Sementara itu, Forrester Research memperkirakan tahun ini B2B e-commerce di Amerika Serikat besarnya sudah mencapai US$ 780 miliar, dua kali lipat dari B2C.

Toh, Subhan menyarankan Ralali.com untuk mendefinisikan dulu pasar (market) dan sumber (source)-nya. Apakah ingin menjadi marketplace dengan target pasar Indonesia saja atau pasar global, dan apakah sourcing-nya hanya dari pemasok Indonesia, atau ingin merambah ke pemasok dari luar negeri. “Tapi, sebaiknya Ralali fokus dulu ke pasar Indonesia, dengan pemasok dari Indonesia,” ia menyarankan. “Atau, bikin B2B marketplace untuk pasar luar dengan barang-barang Indonesia yang lebih murah atau tidak mudah didapatkan dari luar Indonesia,” tambahnya.

Selain itu, Subhan juga mengingatkan bahwa karakter dan kebutuhan B2B tentunya berbeda dari B2C. Dari sisi pembeli, mereka merupakan pembeli korporat, sehingga bisa saja satu akun memiliki tiga contact person. Cara bayarnya, selain bisa dengan kartu kredit atau transfer, juga mesti ada term of payment. Sebab, kebanyakan pelanggan B2B mengharapkan adanya tenggang pembayaran 30-90 hari. Misalnya, Alibaba.com mempunyai fasilitas e-CreditLine, bekerja sama dengan Bank of China.

Menurut Subhan, Ralali.com juga perlu menjalin kerja sama dengan penyedia jasa logistik, tetapi tetap memiliki tim logistik sendiri untuk mengelola dan memonitor semua pengiriman barang. “Ini sangat penting. Bukan hanya masalah customer satisfaction, tetapi juga menyangkut biaya dan sangat menentukan untung dan rugi dari transaksi tersebut,” ujar Subhan mengingatkan. “Jadi, akan lebih baik jika Ralali memperkuat logistiknya,” tambahnya.

 

A. Mohammad B.S. & Nerissa Arviana

The post Cara Joseph Aditya Menggarap B2B e-Commerce appeared first on SWA.co.id.

Hulaa.com, Menyasar Traveller yang Sensitif Waktu

$
0
0
Maria Suzanna Roesli

Jumlah penumpang perjalanan udara di Indonesia yang mencapai puluhan juta rupanya menarik minat dua anak muda membesut Hulaa.com, agen perjalanan online untuk memesan tiket pesawat dan hotel. Dengan diferensiasi yang kuat, Maria Suzanna Roesli (34 tahun) dan Budiyono Salim (31 tahun) yakin bisnis mereka yang belum genap dua tahun itu berpeluang untuk bersaing dengan pemimpin pasar.

Maria Suzanna Roesli

Maria Suzanna Roesli

Hulaa semakin digdaya lantaran berhasil menarik Bayu Buana Travel (BBT), agen perjalanan kawakan, sebagai salah satu investornya. Alhasil, tak hanya modal Hulaa yang menebal, jaringan bisnis BBT pun turut memperkuat startup yang dirintis pada pertengahan 2014 itu. Kini, belasan maskapai di Indonesia serta puluhan ribu hotel di seantero Indonesia dan Asia Pasifik sukses digandeng Hulaa.

Kepada SWA di kantornya, DBS Tower Lantai 9, Kuningan, Jakarta Selatan, Maria menuturkan, dia dan rekannya membesut Hulaa di bawah bendera PT Hulaa Travel Indonesia. Perempuan kelahiran Jakarta 1981 itu bukan sosok baru di ranah startup Indonesia. Alumni Jurusan Nutrition Biochemistry UC Davis, Kalifornia, AS, itu sebelumnya menjabat sebagai VP Penjualan Groupon Indonesia selama dua tahun.

Obrolan santai antara Maria dan Budiyono Salim, seorang programmer muda yang tengah mencari bidang bisnis baru, membawa mereka menggeluti bisnis online travel agent (OTA). “Pak Budi dulu bekerja sebagai programmer di Singapura, lalu pulang juga ke Indonesia. Saat kumpul dengan teman-teman, kemudian kami berkenalan. Lama-lama kami membicarakan mengenai visi dan ternyata ada kecocokan sehingga kami membangun Hulaa,” Maria mengenang.

Maria melihat, pasar perjalanan udara di Indonesia sangat besar. “Sekarang saya rasa kebutuhan travel di Indonesia sangat besar, ditambah minimal setahun sekali masyarakat berpergian seperti mudik,” tuturnya. Maria benar. Badan Pusat Statistik merilis data bahwa jumlah penumpang angkutan udara di Indonesia tahun 2014 mencapai 72,6 juta orang, naik 5,6% dari 2013 yang sebanyak 68,5 juta orang. Terlebih, International Air Transport Association menyebut pada 2034, Indonesia diprediksi menjadi pasar travel penerbangan terbesar ke-6 di dunia dengan 270 juta penumpang diperkirakan terbang ke, dari dan melalui Indonesia.

Maria dan Budi tak gentar menghadapi sejumlah pemain OTA kawakan seperti Traveloka dan Tiket.com. Pasalnya, mereka melihat masih ada peluang besar bagi situs sejenis yang memiliki daya saing yang kuat. Ketika melakukan riset dengan menjajal produk pesaing, mereka menemukan, rata-rata dibutuhkan waktu 32,6 menit untuk melakukan pemesanan. Karena itu, mereka sepakat meluncurkan layanan OTA yang menawarkan kecepatan serta kemudahan dalam melakukan pemesanan tiket pesawat dan hotel. Salah satu caranya, memodifikasi kolom pemesanan tiket sesuai dengan persyaratan khusus tiap-tiap maskapai. Pasalnya, ada sejumlah maskapai seperti Batik Air yang tidak memerlukan pengisian kolom tempat dan tanggal lahir. Ini berbeda dengan Air Asia yang mensyaratkan pengisian kolom tersebut. Selain itu, sistem Hulaa juga diklaim Maria bisa membantu mengisikan nama penumpang karena mampu mempelajari perilaku penggunanya.

Kenyamanan pengguna, imbuh Maria, semakin dimanjakan dengan keberadaan petugas layanan pelanggan 24 jam yang bisa dijangkau melalui telepon, SMS, surat elektronik hingga WhatsApp. Dengan konsep itu, diharapkan pelanggan Hulaa bisa cepat mendapat respons atas kebutuhan perjalanan udara dan penginapannya.

Aspek kenyamanan memang sejak awal menjadi salah satu fokus Hulaa. Bahkan, desain nama dan logo Hulaa pun dirancang bernuansa kasual demi mengingatkan orang pada suasana Hawaii yang ceria. “Kami ingin agar kesannya teringat Hawaii, yang fun, nyaman, santai, berbunga-bunga. Selain itu, kami ingin memberi nama yang langsung mengingatkan orang pada pengalaman dan destinasi travel,” paparnya.

Usai merampungkan konsep produknya, promosi pun digelar di kanal digital. Facebook, Twitter, Instagram dan blog menjadi andalan utama Hulaa untuk mempromosikan layanannya. Berbagai kontes digelar Hulaa demi meningkatkan popularitasnya. Salah satunya, pada Lebaran yang lalu, Hulaa meluncurkan lomba ngeblog bertema pengalaman mudik dengan hadiah paket wisata ke Phuket Thailand beserta akomodasinya. Pada Juni-Agustus lalu, Hulaa juga sempat berpromosi menawarkan diskon vocer hotel di Groupon Indonesia.

Dengan strategi yang matang, respons pengunjung cukup positif. Bahkan, Maria mengklaim, sejak meluncur secara resmi pada Maret 2015, hingga kini transaksinya terus meningkat dengan rata-rata kenaikan 110% per bulan. “Active user sebanyak 20 ribu ngecekin halaman kami dan yang melakukan transaksi 70%-nya sehari,” Maria menjelaskan.

Setelah berjalan beberapa bulan, kini Maria dan tim bisa memetakan profil pengguna Hulaa. “Pelanggan kami kebanyakan business traveller. Mereka lebih time sensitive dibandingkan cost sensitive, terpacu oleh waktu yang maunya cepat. Jadi, lebih ke market yang memang membutuhkan kecepatan dan kenyamanan,” ujarnya.

Seiring dengan meningkatnya jumlah transaksi, Hulaa pun menambah krunya. Dari awalnya hanya Maria dan Budi yang sepenuhnya menangani seluruh urusan bisnis hingga operasional, kini Hulaa diperkuat oleh 15 karyawan. Mereka terbagi ke dalam divisi pengembangan produk, layanan pelanggan serta keuangan. Selain itu, jaringan maskapai dan hotel mereka juga kian luas. Saat ini, Hulaa bekerja sama dengan 13 maskapai di Indonesia dan 27 ribu hotel di Indonesia dan Asia Pasifik. “Sebenarnya kami sudah ada data untuk hotel di Amerika dan Eropa, namun baru Januari 2015 kami akan buka 10 ribu lagi. Kami juga dibantu oleh Bayu Buana Travel yang memperkenalkan kami ke hotel-hotel dan maskapainya,” ungkap Maria.

Ke depan, Hulaa berencana melengkapi layanannya dengan paket wisata domestik dan pemesanan tiket kereta api. “Nanti turnya akan lebih dimodifikasi buat orang yang sibuk yang hanya punya waktu tiga hari. Kami juga ingin bisa melayani pembelian tiket kereta karena itu juga permintaannya banyak.”

Rina Astuti (25 tahun) yang sudah dua kali menggunakan layanan Hulaa mengaku cukup puas. Karyawati bagian pemasaran di Maspion itu ketika hendak mengubah pesanannya pernah dibantu hingga tuntas oleh petugas layanan pelanggan Hulaa. “Jadi, pernah saya mau reschedule saat saya mau pergi ke Bali, akhirnya saya dibantuin sama CS-nya Hulaa sampai tuntas,” tutur Rina yang menggunakan Hulaa saat pergi ke Bali dan Lombok.

Rina memberi saran agar Hulaa memperluas layanannya. “Berhubung saya suka berpergian dengan teman-teman menggunakan bus atau kereta api, jadi kalau bisa, kedua tiket transportasi tersebut juga bisa dibeli di Hulaa agar lebih memudahkan pelanggannya juga,” kata Rina penuh harap.(*)

Eddy Dwinanto Iskandar

Reportase: Sri Niken Handayani

The post Hulaa.com, Menyasar Traveller yang Sensitif Waktu appeared first on SWA.co.id.

Stephanie Yoe Memulai Karier di Usia 19 Tahun

$
0
0
swa3

Di usianya yang ke-24 tahun, Stephanie A. T. Yoe, menduduki beberapa posisi di beberapa perusahaan. Selain menjadi Business Development Manager di Blibli.com, ia juga menjadi Founder di Cutbroker Pte Ltd, sekaligus menjadi Babson Global Ambassador of Indonesia. Sejak SMA, Stephanie rajin menjadi pegawai magang di perusaahan untuk merasakan dan mengetahui kareir apa yang ia inginkan.

swa3

Perjalanan kariernya dimulai dari usia 19 tahun, ketika ia menjadi Co-Founder dan CEO di www.blendsallure.com, sebuah e-commerce yang menjual syal kepada konsumen di pesisir barat dan timur di Amerika Serikat sekaligus kepada konsumen B2B.

Kemudian, ia bergabung dengan perusahaan manajemen database, EMC, di bagian marketing dan keuangan. Setelah lulus dari Babson College jurusan Kewirausahaan spesialisasi di High-Tech dan pemasaran, ia bergabung dengan perusahaan M&A di Boston, MA sebagai analis.

Karena OPT (Optional Practical Traning) saat itu sudah habis dan visa H1B susah didapat karena krisis di Amerika, ia mendapat pengalaman berjualan langsung dari pintu ke pintu untuk menjual Verizon Fios sebelum kembali ke Jakarta.

“Aku ketuk satu persatu pintu di perumahan, tiga puteran sehari, untuk menawarkan Fios atau beralih dari Comcast ke Fios. Capek dan panas sekali, tapi itu merupakan pengalaman yang sangat berharga buat aku karena aku belajar cara dan bagaimana berjualan secara langsung,” ujar perempuan cantik kelahiran 17 Juni 1991 ini.

Setelah OPTnya habis, Stephanie terbang ke Shanghai untuk belajar bahasa Mandarin. Namun, baru beberapa bulan, ia dipanggil oleh Babson College untuk membantu partner Babson College sebagai bagian dari tugas dari Babson Global Ambassador of Indonesia . Salah satu tanggung jawabnya adalah untuk mengenalkan ide baru, strategi inovatif di departmen pemasaran, dan membantu untuk menciptakan suasana yang nyaman dan seru di Podomoro University.

Ia juga bertanggung jawab dalam mengurus komunitas alumni Babson di Indonesia. Sejalan dengan tugasnya sebagai Babson Global Ambassador of Indonesia, Stephanie mendirikan media digital, Jakarta City Life (JCL) yang mengulas seputar gaya hidup, event, dan tempat wisata di Jakarta.

“Sayangnya, saat ini JCL sedang berhenti beroperasi. Selain mengurusi JCL saat itu, saya juga membantu beberapa venture capitalist dari Silicon Valley untuk mengerti dan masuk ke pasar Indonesia sekaligus memberi konsultasi mengenai gambaran perkembangan teknologi di Indonesia. Sebaliknya, saya juga belajar banyak sekali dari mereka. Karena saya sering bertemu dengan para venture capitalist baik di Asia Tenggara maupun Amerika, Peng T. Ong, Founder dan CTO di Match.com dan Partner at Monk’s Hill’s Ventures menjadi mentorku. Beliau mengajarkan aku banyak tentang kehidupan dan mengenai perusahaan rintisan dari sisi venture capitalist dan teknis secara lebih mendalam, ” jelasnya.

Baru-baru ini, ia berinvestasi di Appstrak, sebuah web/platform dan mobile apps development yang dikenal sebagai “start-up friendly” karena harganya, reabilitasnya dan kualitasnya yang terjangkau.

Stephanie pernah mengikuti ajang kecantikan Putri Indonesia di tahun 2015 karena ia ingin menerapkan pengalaman dan pengetahuannya untuk mengembangkan Indonesia. “Saya lihat Miss Universe sebagai kesempatan untuk lebih ‘menjual’ pariwisata Indonesia yang nantinya akan berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi kita. Apalagi karena Indonesia sudah menjadi ekonomi terbesar yang ke 7 di dunia dengan 135 juta orang konsumtif, sayang sekali kalau tidak dipakai kesempatannya. Dan ini sebagai saluran saya untuk menjangkau ‘audience’ yang lebih luas agar saya bisa menginspirasi lebih banyak orang dan membuat ‘impact’ yang positif di negara ini. Saya tidak menang, tapi  dianugerahi sebagai Miss Universe Jakarta 2015/ Puteri DKI Jakarta 2015 – Top 10 in the Miss Universe Indonesia Pageant,” jelasnya.

Sebagai Business Development Manager di Blibli.com, Stephanie bertanggung jawab untuk menciptakan lebih banyak lagi perusahaan rintisan yang berpotensi untuk dapat diintergrasikan dengan model dan proses bisnis saat ini. Ia juga bertugas untuk membuat proyek dan kampanye yang menarik dan inovatif.

Tinggal dan bekerja cukup lama di Amerika membuat standar kerja Stephanie sangat tinggi. Ia mengungkapkan bahwa salah satu tantangan terbesarnya di sini adalah menemukan talent yang profesional, jujur, produktif, konsisten, dan efisien. “Berdasarkan laporan McKinsey’s Unleashing Indonesia, untuk mencapai target GDP (Growth Domestic Product) sebesar 7% per tahun, Indonesia membutuhkan produktivitas tenaga kerja yang 60% lebih cepat dibanding kecepetan produktif sebelumnya di tahun 2000-2010. Masih banyak sekali PR yang harus dikerjakan di Indonesia”. Stephanie membocorkan rahasianya untuk mencapai tujuan, yaitu selalu peka terhadap peluang dan pandai memprioritaskan hal-hal yang ingin dikerjakan.

Untuk melatih kemampuannya, setiap minggu ia menjadi mentor untuk banyak wirausaha. “Saya membantu untuk membentuk konsep, bisnis model, dan juga dari sisi komersialnya. Menjadi mentor melatih kemampuan sekaligus juga memvalidisikan strategi saya sendiri. Jadinya aku parallel belajar dengan mereka,” ujarnya sambil bersemangat.

Dengan segudang aktivitas, Stephanie melepas stres dengan bermain piano, gitar, dan juga bernyanyi. “Saya suka menghabiskan waktu luang sendiri. Biasanya menonton Netflix atau ke bioskop, dan café ‘chilling’ dengan teman teman saja,” dia menuturkan.

Meski tinggal lama di luar negeri, Stephanie masih memegang paspor Indonesia dan berdedikasi untuk membuat perubahan yang positif di Indonesia. “Saya ingin membantu Indonesia berjaya di dunia teknologi sambil menginspirasikan wanita muda untuk lebih berdikari, percaya diri, sukses dan mandiri secara finansial,” dia menegaskan. (EVA)

The post Stephanie Yoe Memulai Karier di Usia 19 Tahun appeared first on SWA.co.id.

Merintis Bisnis Sewa Kasur Beromset Miliaran Rupiah

$
0
0
Clara Almabella Bamanty

Clara Almabella Bamanty adalah salah satu contoh pengusaha muda bermental baja. Bagaimana tidak. Ia sering kali diejek dan ditertawakan karena bergelut dengan bisnis penyewaan kasur di Yogyakarta. Bisnisnya dipandang sebelah mata karena dianggap tidak bisa meraup laba. Clara mengabaikan anggapan tersebut. Ia tancap gas dan mendirikan usaha penyewaan kasur dengan nama sewakasur.com. “Saya melihat peluang bisnis yang besar sekali. Jadi, saya melanjutkan bisnis ini dan terbukti saya bisa membuka cabang di daerah lain,” Clara menceritakan.

Clara Almabella Bamanty

Clara Almabella Bamanty

Jenis kasur yang disewakannya terdiri dari kasur busa dan kasur pegas (spring bed). Tarifnya bervariasi, mulai dari Rp 20 ribu hingga Rp 110 ribu per kasur selama 24 jam. Harga sewa paling murah adalah kasur busa berukuran 90 x 1.200 cm yang dibanderol Rp 20 ribu per hari. “Dalam sehari, kami menyewakan kasur busa kira-kira 300 lembar untuk di Yogya saja. Pelanggan kami yang paling besar adalah hotel,” ia menjelaskan. Berdasarkan perhitungan Clara, estimasi omset sewakasur.com dari penyewaan kasur busa itu sebesar Rp 180 juta setiap bulannya, atau Rp 2,1 miliar per tahun. “Sebagian besar hotel di Yogya sudah bekerja sama dengan kami untuk menyediakan kasur busa, yang mereka gunakan untuk extra bed,” dia menambahkan.

Jasa penyewaan alas tidur sangat membantu pengelola hotel. Sugeng Waluyo, Executive Housekeeper Hotel Indoluxe di Yogya, mengatakan, pelaku bisnis hotel di daerahnya merasa terbantu oleh jasa penyewaan kasur yang disediakan oleh empat vendor. “Dulu, kami susah mencari vendornya. Sekarang kami sudah tidak kesulitan lagi,” kata Sugeng. Dia menceritakan hotelnya menyediakan extra bed dalam jumlah terbatas, sehingga membutuhkan penyedia kasur ekstra apabila ada rombongan yang menginap di Hotel Indoluxe. “Kami memilih Clara karena kualitasnya memenuhi standar hotel, pelayanannya cepat dan selalu siaga 24 jam mengantarkan pemesanan walau kami menyewa kasurnya tidak banyak,” ungkap Sugeng.

Slogan sewakasur.com adalah Membantu Menjamu Tamu. Clara mengklaim pihaknya sebagai perintis penyewaan kasur busa dan spring bed di Kota Gudeg itu. Selain hotel, pelanggannya berasal dari instansi pemerintah dan perorangan. Sepintas, laju bisnisnya patut diacungi jempol. Clara meraihnya tidak instan karena memulainya dari tahun 2007. Waktu itu, dia masih kelas satu SMA. Modalnya berasal dari tabungan pribadi sebesar Rp 200 ribu untuk membeli satu lembar kasur busa.

Dia mengisahkan bahwa ide bisnisnya itu terinspirasi dari hobinya menginap di hotel atau vila. Kebetulan Clara bersama keluarganya sering jalan-jalan ke berbagai destinasi wisata. Saat menginap, rombongan keluarga Clara ini acap kesulitan mendapatkan kasur ekstra dari pengelola tempat penginapan. “Kami sering kekurangan extra bed karena pihak hotel tidak menyediakan. Dari situlah, saya berpikir untuk berbisnis penyewaan kasur,” tutur wanita kelahiran Yogyakarta, 26 juni 1992 ini.

Lalu, Clara bersama saudara sepupunya menawarkan jasa penyewaan kasur. Mereka acap kali mengantarkan kasur ke konsumennya dengan mengendarai sepeda motor. Promosinya hanya mengandalkan sistem getok tular (word of mouth). Sebelum menembus hotel, Clara menyewakan kasur ke tetangga di sebelah rumahnya di Jl. Godean Km 7 Sidoarum, Sleman, Yogyakarta yang sekaligus menjadi kantor pusat sewakasur.com.

Langkah berikutnya, ia memberanikan diri menawarkan jasanya ke pengelola hotel dan tempat penginapan lainnya. Namun, ia pulang dengan tangan hampa. Clara tidak putus asa. Ia malah semakin gencar mempromosikan sewakasur.com di media sosial, situs Internet (website) dan pamflet. Perlahan tetapi pasti, bisnisnya melejit. “Awalnya banyak yang menolak. Tapi, saya tidak menyerah sampai akhirnya sewakasur.com mulai dikenal luas dan pengelola hotel menghubungi saya untuk bekerja sama menyediakan extra bed,” Clara menegaskan. Ia berterima kasih kepada ayahnya karena memberikan modal tambahan di awal menjalankan bisnisnya. “Setelah mulai berjalan, saya membeli kasur sedikit demi sedikit untuk menambah jumlah kasur,” ia menerangkan.

Sekarang, Clara sudah membuka cabang di Semarang, Bekasi, Jakarta, Bandung, dan Bali. “Investasi setiap gerainya sekitar Rp 75 juta,” ujarnya. Rencananya, Clara ingin mengepakkan sayap bisnisnya dengan membuka cabang di tiga kota lainnya, antara lain Surabaya dan Lombok. CV Penutup adalah perusahaan yang menaungi sewakasur.com. Selain itu, dia mengembangkan unit bisnisnya, seperti menyediakan selimut atau peralatan penginapan lainnya bagi pengelola hotel.

Clara saat ini hanya seorang diri mengelola usahanya, sepupunya sudah mengundurkan diri karena sibuk dengan pekerjaan lainnya. Alumni Jurusan Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional, Yogyakarta ini tetap terjun langsung menjalankan manajemen usahanya, seperti membeli dan merawat kasur, serta mendistribusikannya ke konsumen. Ia mempekerjakan 10 pegawai di kantor pusat sewa kasur Yogya. Sementara jumlah karyawan di kantor cabang berkisar 2-4 orang per gerai.

Menurut Clara, tantangan yang dihadapinya adalah menyakinkan konsumen mengenai kualitas kasurnya. Atau, menghadapi risiko bisnis seperti pencurian atau kerusakan. Sugeng, selaku pelanggan sewakasur.com, berharap Clara mempertahankan kualitas dan pelayanan, serta memperluas jaringannya. “Karena kompetitornya semakin banyak, maka kualitas produk ataupun layanannya harus diutamakan,” kata Sugeng.

Vicky Rachman & Rizky C. Septiana

Riset: Muhammad Rizki

The post Merintis Bisnis Sewa Kasur Beromset Miliaran Rupiah appeared first on SWA.co.id.

Fajar Putra Membidik Laba dari Bisnis Acroyoga

$
0
0
Fajar Putra, penggiat acroyoga yang mendirikan Studio Union Yoga

Kelas olah raga yoga sangat diminati oleh pecinta gaya hidup sehat di kota besar. Kini, turunannya yang disebut dengan acrobatic yoga (acroyoga) sedang digandrungi oleh kaum urban. Penikmatnya berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari pegawai kantoran hingga selebritas papan atas. Inilah yang menggugah Fajar Putra, penggiat acroyoga, mendirikan Studio Union Yoga sejak September 2014.

Fajar Putra, penggiat acroyoga yang mendirikan Studio Union Yoga

Fajar Putra, penggiat acroyoga yang mendirikan Studio Union Yoga

Lokasi studionya di kawasan prestisius, yakni Jl. Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia bersama kedua sahabat karibnya, Cocolio dan Junita Caesar, menjadi pemilik saham Union Yoga. Fajar mengatakan, modalnya berasal dari tabungannya yang dikumpulkan dalam empat tahun terakhir. Namun, Fajar enggan blak-blakan menyebutkan nilai investasinya. Pokoknya modalnya banyak sekali, saya butuh waktu empat tahun untuk menabung dan ditambah dari modal kedua teman saya itu,” tuturnya.

Menurutnya, yoga terdiri dari berbagai jenis, salah satunya adalah acroyoga. Istilah acroyoga dikenal pertama kalinya di Montreal, Kanada dan Amerika Serikat tahun 2002-2003. Selanjutnya, acroyoga menyebar ke beberapa negara, termasuk Indonesia. Bagi Fajar, acroyoga melambungkan popularitasnya sebagai praktisi yoga. “Saya boleh dibilang sebagai guru acroyoga pertama di Indonesia,” ujar lajang kelahiran 29 tahun silam ini.

Popularitasnya itu tidak dipetiknya dalam hitungan hari. Fajar menuturkan, seorang guru yoga memerlukan jam terbang agar kompentensinya teruji. Inilah yang dilakoninya selama bertahun-tahun sebelum mendirikan Union Yoga. Ia mengajar acroyoga sejak tahun 2006 untuk kelas privat. Ketika itu, dia tidak memungut bayaran sepeser pun. Fajar bahkan tak sungkan menyambangi kediaman kliennya yang ingin mengikuti kelas acroyoga-nya itu.

Ia mengenang, pada masa itu pernah mengajar 7 kelas dalam sehari. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Kira-kira ungkapan ini bisa menggambarkan perjuangan Fajar dalam membangun reputasinya.

Kini, kerja kerasnya membuahkan hasil. Union Yoga, menurut Fajar, adalah studio yoga yang menawarkan beragam pelatihan yoga, seperti acroyoga, bikram yoga atau sveda yoga. Sebagai seorang yogi (pelaku yoga), Fajar mempraktikkan yoga sejak masa kanak-kanak. Ia berlatih yoga dari ayah kandungnya, Hamid Sulaiman. Ayahnya yang berprofesi sebagai dokter, memang rajin mempratikkan yoga di rumahnya. Saya mendapat inspirasi dari ayah saya,” Fajar menegaskan.

Olah raga pernapasan dari India ini terus dipraktikkan Fajar, meski kesibukannya sebagai pegawai kantoran menyita waktu dan energinya. Ia mengungkapkan, setiap hari dirinya konsisten mempratikkan olah raga pernapasan dari India meski waktunya tersita ketika bekerja di IndoPacific Edelman (sekarang Edelman Indonesia) pada 2004-2009.

Kini, ia membuktikan dirinya sebagai pelopor acroyoga di Nusantara. Jumlah kliennya membludak, walau studionya itu berdirinya belum genap setahun. Sejumlah artis terkenal dilatih oleh Fajar. Sebut saja, Carrisa Putri, Ario Bayu, Chelsea Olivia, Rossa, Ivan Gunawan, hingga pendangdut Inul Daratista.

Promosi ala getok tular (word of mouth) dari artis berhasil menjaring puluhan artis lainnya yang kini menjadi murid Fajar. “Jumlah artis yang berlatih yoga dengan saya sekitar 50 orang. Umumnya mereka mengambil kelas privat,” kata alumni Jurusan Public Relations Universitas Paramadina, Jakarta ini. Selain itu, menurut Fajar, aksi acroyoga yang dilakukannya bersama dengan para pesohor sering diunggahnya di media sosial seperti Instagram, Path, Twitter dan lainnya. “Berpromosi di media sosial sangat efektif,” ia menambahkan.

Untuk tarif kelas privat, Fajar membanderolnya Rp 450-750 ribu, sedangkan kelas umum Rp 250 ribu. Durasi untuk setiap sesi itu ditetapkan selama 60 menit. Animo masyarakat pun cukup besar. “Sekitar 250 orang menjadi member Union Yoga dan animo peserta dari luar kota juga sangat bagus,” ucap Fajar. Selain dari Jakarta, pesertanya juga datang dari Bandung, Makassar Semarang dan Yogyakarta. Sebanyak 15 guru yoga menjadi mitra kerja sebagai instruktur di Union Yoga

Daya tampung maksimum studionya sebanyak 60 orang untuk setiap sesi. Lili, salah satu murid Union Yoga, mengatakan dirinya sangat betah berlatih yoga di Union Yoga lantaran pengelolanya tidak hanya memberikan pelatihan yoga, melainkan juga menerapkan hubungan persahabatan.Saya juga merasa tempat ini paling bagus untuk melatih acroyoga atau bikram yoga,” ucap Lili.


Untuk memperluas bisnisnya, Fajar tahun lalu membuka agensi guru yoga bernama Penyogastar. Ini adalah semacam wadah bagi para guru yoga privat. Tujuannya, menurut Fajar, agar bisa menjangkau kliennya yang tersebar di setiap penjuru Jakarta dan luar kota. Ia melakukan road show ke Makassar dan Surabaya untuk kelas indoor sejak Desember 2014. Pesertanya dibatasi 100 orang. “Ke depan, saya mau road show untuk kelas outdoor dan target pesertanya bisa mencapai 2.500 orang,” ujarnya berharap. Ia berencana pula membuka cabang Union Yoga di luar Jakarta.

Vicky Rachman & Istihanah

Riset: Gustyanita Pratiwi

The post Fajar Putra Membidik Laba dari Bisnis Acroyoga appeared first on SWA.co.id.

Dua Dunia Marsha Siagian

$
0
0
Marsha Damita Siagian

Tidak banyak orang yang bisa menyeimbangkan dua pilihan karier sekaligus. Namun Marsha Damita Siagian (31 tahun) bertekad menempuh karier sebagai perancang busana dan konsultan pajak. Meski pernah kebingungan mengatur waktu, kini Marsha telah menemukan ritme kerja yang tepat. “Dulu, waktu pertama kali mulai, sempet panik terus emosian karena kelihatannya kerjaan banyak, tapi sekarang manajemen proyeknya sudah jalan,” tutur dara lulusan Jurusan Akuntansi dan Keuangan University of Melbourne, Australia, dan Teknologi Desain Fashion London College of Fashion, Inggris ini.

Marsha Damita SiagianMarsha membesut lini busananya sejak 2012 di bawah label Marie et Lu, sesuai dengan nama neneknya, usai kuliah di London. Kemudian, lantaran masukan dari konsumen, finalis 15 besar Miss Indonesia 2006 dari Sumatera Utara itu mulai memberanikan diri menggunakan namanya sendiri, Marsha. “Label Marsha diperuntukkan buat wanita independen, bisa dipakai di banyak acara, berulang kali, agak spesial untuk orang yang memakai,” ujar perempuan berdarah Batak-Tionghoa-Manado itu memaparkan konsepnya.

Belakangan, dia menelurkan label keduanya, Dongengan. “Awalnya kakak saya yang punya ide. Karena, menurut dia, kain Indonesia kan banyak, sayang kalau nggak dipake. Dongengan itu baju harian batik seperti jumputan atau batik celup,” ungkapnya kepada SWA di Kafe Anomali, Setiabudi, Jakarta Selatan. Label Marsha dibanderol Rp 400 ribu-3,5 juta, sementara Dongengan ditawarkan Rp 300-700 ribu.

Meskipun Marsha telah mengantongi gelar perancang busana dari universitas kenamaan di Inggris, praktiknya jauh lebih melelahkan untuk mewujudkan impiannnya meluncurkan labelnya sendiri. Awal berkarier sebagai perancang busana, ia bekerja sama dengan temannya. Namun, karena kesibukan Marsha dan temannya yang sama-sama masih menjadi karyawan penuh waktu, akhirnya usaha pertamanya kandas. “Teman saya kerja, saya magang dan kerja, itu tahun 2010-2011. Akhirnya ya nggak lanjut,” ujar Marsha yang sempat berkarier sebagai Staf PDCA dan Investasi di Asuransi Astra Buana, dan dosen di La Salle College, Jakarta.

Selain itu, dia juga terbentur perbedaan yang cukup tajam antara teori di bangku kuliah dan realitas di lapangan. Saat studi di London, dia diajarkan bahwa tugasnya sebagai desainer hanya menggambar, mencari contoh kain, sementara ketika produksi, ia hanya tinggal membuat ilustrasi tampak depan dan belakang busananya. “Tapi kenyataannya di Indonesia tidak bisa begitu. Eksekusinya panjang. Nunggu ini-itunya lama,” ungkapnya blak-blakan.

Namun, Marsha, yang dua bulan terakhir bergabung di kantor konsultan pajak, terus berusaha. Akhirnya, dia mendapatkan klien profesional pertamanya, yakni diva pop Indonesia, Titi DJ. “Saya ikut lomba desain batik dan model busana untuk baju panggung Lady Gaga dan menang. Sayangnya, dia batal tampil di Indonesia, akhirnya dialihkanlah ke Titi DJ. Lombanya tahun 2012, beberapa bulan setelah meluncurkan merek Marie et Lu,” tuturnya. Selain Titi DJ, selebritas lain seperti Mika Tambayong juga menjadi pelanggannya.

Pergulatannya terus berlanjut. Sebagai desainer pemula, ia sungguh merasa terbebani dengan biaya sewa ruang pamer. “Kalau dihitung, memang nggak make sense bagi desainer baru untuk membayar sewa toko. Jadi, harus pintar membuka peluang usaha tanpa mengeluarkan modal banyak,” paparnya. Alhasil, ia lebih memilih menempuh jalur online untuk memasarkan busananya. “Sekarang saya masih jual direct, ada gerai di www.istyleup.com yaitu e-commerce mulai bulan lalu. Saya masih mencari ritel untuk toko fisik tapi belum ketemu yang fix,” ujarnya.

Keterbatasan itu tak membuatnya berhenti berkarya. Berkat perjuangannya, busana kreasinya sempat ditampilkan di sejumlah ajang bergengsi seperti acara Denny Malik 32 Tahun Berkarya di Jakarta pada 2012, dan menjadi desainer partisipan di Jakarta Fashion Week 2014. Ia juga menjadi finalis di ajang D3 Asian Contemporary Daywear, Hong Kong, dua tahun silam.

Busana Marsha rupanya telah memiliki penggemarnya sendiri. Di antaranya Yuliana Sudjono, yang menjabat sebagai partner di Kantor Akuntan Publik Tanudiredja Wibisana & Rekan. Yuliana pertama kali mengenal label kreasi Marsha lantaran empat tahun silam melihat rekannya yang tak lain kakaknya Marsha mengenakan busana yang menarik perhatiannya. “Nah, kebetulan teman saya ini batiknya lucu-lucu, model anak muda. Kombinasi warna dan kainnya menarik sekali yang detailnya juga diperhatikan. Misalnya ada list-list dengan warna dan corak yang indah atau sambungan kain yang pas banget walaupun dari kain yang berbeda. Harganya juga pas. And last but not least, jahitannya rapi dan pas di badan,” tuturnya.

Sejak itu Yuliana berkenalan dengan label Marie et Lu dan Dongengan, serta menjadi pelanggan setianya hingga kini. “Untuk Marie et Lu juga karena kombinasi warna yang bagus, model yang unik dari ide yang orisinal dan keren. Bahannya pun terlihat eksklusif, dan kualitas jahitan bagus serta attention to detail yang memuaskan. Oh ya, last but not least, nyaman dipakai,” kata Yuliana memuji busana Marsha habis-habisan.

Berkat busana Marsha, Yuliana pun merasa tubuhnya terlihat langsing. “Teman saya yang melihat saya memakai batik Dongengan selalu menanyakan di mana saya menjahit batik tersebut, sampai-sampai kolega bisnis saya dari Singapura ikut tertarik memesan batik Dongengan, hahaha ….,” kata Yuliana seraya tertawa.

Yuliana menyarankan Marsha agar terus kreatif merancang busana supaya pamornya terus meningkat, serta agar busana batik kian membudaya di kalangan anak muda dan eksekutif muda Indonesia.

Marsha sendiri masih memiliki banyak rencana untuk melejitkan labelnya. Terlebih, kantornya memberikan fleksibilitas kerja yang memungkinkan dia menyalurkan hasrat bisnisnya. “Di kantor agak fleksibel. Ada hari-hari ketika jam kerja saya sudah cukup, saya bisa meminta persetujuan agar bisa mendapatkan waktu untuk mengejar bisnis. Saya mau mengembangkan ready to wear yang lebih ke knitwear karena saya lihat di Jakarta banyak yang pakai knitwear. Maunya membuat knitwear yang variatif karena kan knitwear nggak harus mutlak dibuat tebal,” paparnya semringah.

Eddy Dwinanto Iskandar

Reportase: Aulia Dhetira

BOKS:

Marsha Siagian

Pendidikan:

= Februari 2002-Maret 2005: Sarjana Muda Akunting & Keuangan University of Melbourne, Australia

= September 2006-Juni 2007: Further Education Certificate: Fashion Portfolio London College of Fashion, Inggris

= September 2007-Juni 2010: Sarjana Muda Teknologi Desain Fashion (Busana Wanita) London College of Fashion, Inggris

Pengalaman Kerja:

= Juli 2005-Agustus 2006: Staf Manajemen Proyek Strategis dan Perencanaan Korporat Asuransi Astra Buana, Indonesia

= Maret 2007: Studio Assistant Internship Ada Zanditon, Inggris

= Juli-Agustus 2008: Design Assistant Internship Bubble Girl, Indonesia

= Januari-Maret 2009: Studio Assistant Internship La Petite Salope, Inggris

= Juni-Agustus 2009: Asisten Desain MacMillan, Inggris

= Oktober-Desember 2010: Asisten Teknis Digital Print LCF Digital Print Bureau, Inggris

= Juli 2010-Agustus 2011: Pendiri dan Wakil Desainer Satu Tollefsen, Inggris

= Desember 2011-April 2014: Dosen Fakultas Desain Fashion LaSalle College International Jakarta, Indonesia

= Mei 2012: Denny Malik 32 Tahun Berkarya, Jakarta Theater, Indonesia

= September 2012-sekarang: Pendiri dan Creative Director for ready-to-wear luxe smart casual womenswear label Marie et Lu, Indonesia

April 2013-sekarang: Creative Director for ready-to-wear traditional Indonesian textile-inspired womenswear and menswear label Dongengan, Indonesia

Pencapaian:

= Agustus 2006: 15 Finalis Top Miss Indonesia 2006, Indonesia
=
Juni 2007: Pemenang kompetisi colour matching: Society of Dyers and Colourists, Inggris

= Oktober 2013: Finalis kompetisi desain fashion: D3 Asian Contemporary Daywear, Hong Kong

Acara:

Oktober 2013: Signature by LaSalle International College Jakarta, Senayan City, Jakarta, Indonesia; Desainer Partisipan Jakarta Fashion Week 2014

The post Dua Dunia Marsha Siagian appeared first on SWA.co.id.


Jurus Erwin Wijaya Kembangkan Cat Lokal Berkelas Internasional

$
0
0

Erwin Wijaya mendirikan PT Indowijaya Sakti Teguh pada 2012. Perusahaannya itu memproduksi cat tembok bermerek Puffin Paint. Erwin adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya, Effendy Wijaya, adalah pendiri sekaligus pemilik PT Indopenta Sakti Teguh.

Erwin menceritakan, ayahnya merupakan pengusaha bahan bangunan, khususnya keramik dan granit, yang dirintisnya 25 tahun silam. Indopenta menjual keramik bermerek Grand Royal. Perusahaan yang berbasis di Jakarta ini memiliki jaringan distribusi di sejumlah kota di Indonesia. Pabrik keramiknya berlokasi di Bogor, Jawa Barat.

Nah, kiprah Erwin menggeluti bisnis cat tembok bermula dari pengamatan dan pengalamannya di bisnis bahan-bahan bangunan di Indopenta. “Saya melihat peluang bisnis cat tembok. Selama ini cat tembok adalah satu-satunya bahan bangunan yang belum dijual Indopenta,” ungkapnya. Dia meyakini, peluang pasar cat tembok sangat potensial karena skala pasarnya sangat besar. “Kalau keramik itu kan hanya sekali digunakan konsumen dalam jangka waktu yang lebih lama, tetapi konsumsi untuk cat mungkin setiap tiga tahun sekali, sehingga market-nya besar sekali,” ia menjelaskan alasannya menekuni bisnis cat tembok.

Sebelum ke Tanah Air, Erwin mengasah jiwa kewirausahaannya di China dengan membuka restoran Ipotsuki. Erwin bertualang ke Negeri Tirai Bambu seusai merampungkan kuliah S-1 pada 2011 di University of International Business and Economics, Victoria University, Australia. Ia tinggal di Beijing, China, untuk menimba ilmu bahasa selama satu tahun. Setelah menimba ilmu bisnis di negara tersebut, ia kembali ke Tanah Air dan membantu perusahaan keluarganya, Indopenta.

Perjalanan bisnis Erwin tidak bisa dilepaskan dari kegigihannya mendirikan Indowijaya pada 2012. Modal awal pendirian perusahaan tersebut bersumber dari pinjaman dan subsidi Indopenta. Indowijaya memproduksi cat tembok yang bermerek Puffin Paint. Erwin bercita-cita, Puffin Paint menjadi cat dinding yang menguasai pasar nasional dan internasional. “Puffin Paint beroperasi hampir tiga tahun. Sebagai perusahaan baru, omset kami sekitar Rp 500 juta tiap bulan dengan market share 5%,” tuturnya.

Awalnya, cat dinding yang dijual Ewrin nyaris mirip dengan produk sejenis di pasaran. “Kinerja kami mengalami naik-turun di tahun pertama,” ia mengungkapkan. Ia lalu mencari celah bisnis agar cat temboknya bisa digemari konsumen serta mendongkrak omsetnya. Berdasarkan pengamatannya, Erwin memproduksi cat tembok untuk segmen menengah-bawah. Alasannya, cat tembok premium yang sudah ada di pasaran memiliki pangsa pasar tersendiri dan konsumen lebih mengutamakan merek-merek cat tembok tersebut. Akibatnya, konsumen tidak mudah jatuh hati ke merek cat tembok lainnya. Itulah alasan Erwin memproduksi cat tembok yang menyasar segmen pasar tersebut. “Akhirnya, saya memproduksi Nucolour, yaitu cat tembok untuk segmen menengah-bawah. Produk tersebut lumayan laris,” ujarnya.

Nucolour merupakan cat dinding eksterior. Harga jualnya Rp 1,3-1,4 juta per kaleng yang berbobot 25 kilogram. Garansinya lima tahun. Respons pasar terhadap Nucolour sangat menggembirakan. Lalu, Erwin memperluas sayap bisnisnya melalui distribusi yang dimilikinya sendiri. “Jumlah distributor sebanyak 25 cabang, mayoritas berada di Pulau Jawa, sedangkan cabang di luar Pulau Jawa sebanyak lima unit,” pria kelahiran Jakarta 17 Maret 1987 ini menerangkan. Tahun lalu, ia mengubah strategi distribusi Puffin Paint ke agen-agen penjualan. Tujuannya, agar saluran penjualan cat temboknya lebih fokus dan tepat sasaran. “Saat ini, jumlahnya sebanyak lima agen penjualan. Nantinya penjualan melalui distributor mulai dikurangi karena saya akan menjualnya ke agen-agen penjualan,” Erwin menambahkan.

Saluran penjualan cat temboknya dibarengi dengan produk yang inovatif. Indowijaya pada September 2015 merilis cat antiserangga yang diberi merek Insect Guard. Kehadiran produk yang inovatif adalah opsi yang dipilih Erwin untuk menerobos pasar. Hitungannya tidak meleset karena Insect Guard mampu mendongkrak nama perusahaannya dan Puffin Paint. “Insect Guard adalah produk buatan Indonesia yang diproduksi di pabrik kami di Cileungsi, Bogor,” katanya dengan nada bangga.

Erwin melihat ceruk bisnis yang menggiurkan bagi pasar cat tembok antiserangga. Berdasarkan kajian internal Indowijaya, ia menyimpulkan bahwa konsumen domestik membutuhkan cat tembok antiserangga. Bahan Insect Guard ini tediri dari bahan pengikat akrilik khusus dan mengandung zat kimia alami yang berasal dari ekstrak biologis dan tumbuh-tumbuhan yang berfungsi untuk mengusir aneka serangga. Produk ini sudah melalui serangkaian tes dan ujicoba serta terdaftar di HSE (Health & Safety Executive) Inggris. Daya tahan cat ini lebih dari tiga tahun, mudah dibersihkan, aman, dan antijamur. Cat tersebut sudah diproduksi dalam 10 warna. Erwin menyebutkan, pihaknya di tahun 2016 akan menambah varian warnanya hingga 1.100 pilihan. “Sedangkan target penjualan Insect Guard pada semester I tahun ini sebesar 300 ton/bulan,ujarnya. Harga cat itu dibanderol Rp 200 ribu untuk kemasan 5 kg atau Rp 1,2 juta untuk kemasan 25 kg.

Erwin mengklaim, Insect Guard tidak ada pesaingnya di pasar domestik. Cat antiserangga di luar negeri, lanjutnya, tersedia di Jepang, Malaysia, serta negara-negara Afrika dan Eropa. Ke depan, ia akan menguji tes tingkat keracunan Insect Guard di Singapura. “Hasil tes di Singapura menjadi modal untuk mengekspornya ke luar negeri,” tuturnya. Untuk menaikkan performanya, Erwin bertekad untuk terus berinovasi serta mengembangkan produk dan komunikasi pemasarannya. Effendy, sang ayah, menyarankan Erwin agar rajin memantau langsung operasional bisnisnya. “Agar mendapatkan pengalaman yang lebih banyak,” Effendy menegaskan.(*)

Vicky Rachman & Tiffany Diahnisa

Riset: Muhammad Khoirul Umam

The post Jurus Erwin Wijaya Kembangkan Cat Lokal Berkelas Internasional appeared first on SWA.co.id.

Jurus Erwin Wijaya Kembangkan Cat Lokal Berkelas Internasional

$
0
0
Erwin Wijaya

Erwin Wijaya mendirikan PT Indowijaya Sakti Teguh pada 2012. Perusahaannya itu memproduksi cat tembok bermerek Puffin Paint. Erwin adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya, Effendy Wijaya, adalah pendiri sekaligus pemilik PT Indopenta Sakti Teguh.

Erwin menceritakan, ayahnya merupakan pengusaha bahan bangunan, khususnya keramik dan granit, yang dirintisnya 25 tahun silam. Indopenta menjual keramik bermerek Grand Royal. Perusahaan yang berbasis di Jakarta ini memiliki jaringan distribusi di sejumlah kota di Indonesia. Pabrik keramiknya berlokasi di Bogor, Jawa Barat.

Erwin WijayaNah, kiprah Erwin menggeluti bisnis cat tembok bermula dari pengamatan dan pengalamannya di bisnis bahan-bahan bangunan di Indopenta. “Saya melihat peluang bisnis cat tembok. Selama ini cat tembok adalah satu-satunya bahan bangunan yang belum dijual Indopenta,” ungkapnya. Dia meyakini, peluang pasar cat tembok sangat potensial karena skala pasarnya sangat besar. “Kalau keramik itu kan hanya sekali digunakan konsumen dalam jangka waktu yang lebih lama, tetapi konsumsi untuk cat mungkin setiap tiga tahun sekali, sehingga market-nya besar sekali,” ia menjelaskan alasannya menekuni bisnis cat tembok.

Sebelum ke Tanah Air, Erwin mengasah jiwa kewirausahaannya di China dengan membuka restoran Ipotsuki. Erwin bertualang ke Negeri Tirai Bambu seusai merampungkan kuliah S-1 pada 2011 di University of International Business and Economics, Victoria University, Australia. Ia tinggal di Beijing, China, untuk menimba ilmu bahasa selama satu tahun. Setelah menimba ilmu bisnis di negara tersebut, ia kembali ke Tanah Air dan membantu perusahaan keluarganya, Indopenta.

Perjalanan bisnis Erwin tidak bisa dilepaskan dari kegigihannya mendirikan Indowijaya pada 2012. Modal awal pendirian perusahaan tersebut bersumber dari pinjaman dan subsidi Indopenta. Indowijaya memproduksi cat tembok yang bermerek Puffin Paint. Erwin bercita-cita, Puffin Paint menjadi cat dinding yang menguasai pasar nasional dan internasional. “Puffin Paint beroperasi hampir tiga tahun. Sebagai perusahaan baru, omset kami sekitar Rp 500 juta tiap bulan dengan market share 5%,” tuturnya.

Awalnya, cat dinding yang dijual Ewrin nyaris mirip dengan produk sejenis di pasaran. “Kinerja kami mengalami naik-turun di tahun pertama,” ia mengungkapkan. Ia lalu mencari celah bisnis agar cat temboknya bisa digemari konsumen serta mendongkrak omsetnya. Berdasarkan pengamatannya, Erwin memproduksi cat tembok untuk segmen menengah-bawah. Alasannya, cat tembok premium yang sudah ada di pasaran memiliki pangsa pasar tersendiri dan konsumen lebih mengutamakan merek-merek cat tembok tersebut. Akibatnya, konsumen tidak mudah jatuh hati ke merek cat tembok lainnya. Itulah alasan Erwin memproduksi cat tembok yang menyasar segmen pasar tersebut. “Akhirnya, saya memproduksi Nucolour, yaitu cat tembok untuk segmen menengah-bawah. Produk tersebut lumayan laris,” ujarnya.

Nucolour merupakan cat dinding eksterior. Harga jualnya Rp 1,3-1,4 juta per kaleng yang berbobot 25 kilogram. Garansinya lima tahun. Respons pasar terhadap Nucolour sangat menggembirakan. Lalu, Erwin memperluas sayap bisnisnya melalui distribusi yang dimilikinya sendiri. “Jumlah distributor sebanyak 25 cabang, mayoritas berada di Pulau Jawa, sedangkan cabang di luar Pulau Jawa sebanyak lima unit,” pria kelahiran Jakarta 17 Maret 1987 ini menerangkan. Tahun lalu, ia mengubah strategi distribusi Puffin Paint ke agen-agen penjualan. Tujuannya, agar saluran penjualan cat temboknya lebih fokus dan tepat sasaran. “Saat ini, jumlahnya sebanyak lima agen penjualan. Nantinya penjualan melalui distributor mulai dikurangi karena saya akan menjualnya ke agen-agen penjualan,” Erwin menambahkan.

Saluran penjualan cat temboknya dibarengi dengan produk yang inovatif. Indowijaya pada September 2015 merilis cat antiserangga yang diberi merek Insect Guard. Kehadiran produk yang inovatif adalah opsi yang dipilih Erwin untuk menerobos pasar. Hitungannya tidak meleset karena Insect Guard mampu mendongkrak nama perusahaannya dan Puffin Paint. “Insect Guard adalah produk buatan Indonesia yang diproduksi di pabrik kami di Cileungsi, Bogor,” katanya dengan nada bangga.

Erwin melihat ceruk bisnis yang menggiurkan bagi pasar cat tembok antiserangga. Berdasarkan kajian internal Indowijaya, ia menyimpulkan bahwa konsumen domestik membutuhkan cat tembok antiserangga. Bahan Insect Guard ini tediri dari bahan pengikat akrilik khusus dan mengandung zat kimia alami yang berasal dari ekstrak biologis dan tumbuh-tumbuhan yang berfungsi untuk mengusir aneka serangga. Produk ini sudah melalui serangkaian tes dan ujicoba serta terdaftar di HSE (Health & Safety Executive) Inggris. Daya tahan cat ini lebih dari tiga tahun, mudah dibersihkan, aman, dan antijamur. Cat tersebut sudah diproduksi dalam 10 warna. Erwin menyebutkan, pihaknya di tahun 2016 akan menambah varian warnanya hingga 1.100 pilihan. “Sedangkan target penjualan Insect Guard pada semester I tahun ini sebesar 300 ton/bulan,ujarnya. Harga cat itu dibanderol Rp 200 ribu untuk kemasan 5 kg atau Rp 1,2 juta untuk kemasan 25 kg.

Erwin mengklaim, Insect Guard tidak ada pesaingnya di pasar domestik. Cat antiserangga di luar negeri, lanjutnya, tersedia di Jepang, Malaysia, serta negara-negara Afrika dan Eropa. Ke depan, ia akan menguji tes tingkat keracunan Insect Guard di Singapura. “Hasil tes di Singapura menjadi modal untuk mengekspornya ke luar negeri,” tuturnya. Untuk menaikkan performanya, Erwin bertekad untuk terus berinovasi serta mengembangkan produk dan komunikasi pemasarannya. Effendy, sang ayah, menyarankan Erwin agar rajin memantau langsung operasional bisnisnya. “Agar mendapatkan pengalaman yang lebih banyak,” Effendy menegaskan.(*)

Vicky Rachman & Tiffany Diahnisa

Riset: Muhammad Khoirul Umam

The post Jurus Erwin Wijaya Kembangkan Cat Lokal Berkelas Internasional appeared first on SWA.co.id.

Menebar Virus Sehat dengan Burgreens Resto

$
0
0

Ide dan peluang bisnis bisa datang dari mana saja. Lihat saja yang dilakukan Helga Angelina dan Max Madias. Berangkat dari keseharian sebagai vegetarian, mereka menggelindingkan restoran yang sesuai dengan gaya hidup mereka. Lewat Burgreens Resto yang dibesut pada November 2013 di Rempoa, Jakarta Selatan, mereka menyajikan aneka makanan dan minuman dari bahan organik. “Berawal dari kecintaan terhadap makanan sehat dan keinginan untuk hidup sehat, kami membangun Burgreens Resto,” ungkap Helga, lulusan Komunikasi Internasional, Arnhem Burgreens School, Belanda.

Helga Angelina

Helga Angelina

Gaya hidup sehat yang menjadi tren beberapa tahun terakhir ini membuat Burgreens Resto disambut hangat para penikmat makanan organik. Terlebih, resto ini juga melayani para vegetarian. Jangan heran, dalam tempo singkat, resto kedua pun dibuka, masih di Jak-Sel, yakni di Tebet.

Hidup sehat dilakukan Helga sejak berusia 15 tahun. Kelahiran 2 Desember 1990 ini sering mengonsumsi obat-obatan kimia sejak kecil. Seiring dengan bertambahnya pemahaman mengenai pola hidup sehat, ia memutuskan jadi vegetarian dan menjalani gaya hidup sehat. Sementara Max yang lulusan Manajemen Keuangan dari kampus yang sama, dituturkan Helga, pernah berada di titik jenuh dalam hidupnya. Kelahiran 28 Juni 1988 itu mulai merasa bosan dengan hidup tidak sehat, lalu mencoba mencari hobi-hobi baru yang sehat. Juga, melakukan riset tentang vegetarian. “Dari situ, Max mulai mencintai healthy food yang bisa menyembuhkan penyakit pada tubuh manusia.”

Saat kembali ke Indonesia setelah sekian lama bermukim di Belanda, mereka membuka resto yang sesuai dengan gaya hidup mereka. Awalnya, mereka memilih menularkannya lewat usaha online. Ternyata, rekan mereka, Banyu Bening Prieta, memiliki tempat di Rempoa. Kami mendirikan bisnis ini berempat, saya, Max, Banyu dan Glenn Patrick yang merupakan staf pertama kami,” tutur Helga. Mereka berempat memiliki latar belakang yang berbeda sehingga bisa saling melengkapi. Banyu, yang lahir pada 19 April 1991, lulusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan dan Glenn (lahir 27 Mei 1995) lulusan Homeschooled High School.

Pemilihan menu di Burgreens lahir dari kreasi Max serta tim dapur dan tim pemasaran. “Kami fokus pada kualitas bahan baku dan rasa produk,” kata Helga. Agar produknya menarik, Burgreens menawarkan produk sehat yang fokus pada kualitas bahan dan rasa. “Kami mencari bentuk junk food dan kami olah menjadi makanan sehat. Kami menawarkan burger tetapi berbahan dasar organik. Kami juga menawarkan steak yang kami buat dari mushroom.”

Bahan baku diambil langsung dari petani organik lokal di bawah bimbingan mitra mereka, Yayasan Usaha Mulia, juga bekerja sama dengan Organik Klub yang lokasinya berada satu gedung dengan Burgreens Resto Tebet. “Kami juga berkolaborasi dengan Klub Organik dalam membuat event edukatif seperti healthy plant-based cooking class,” imbuhnya.

Mengusung konsep green, Burgreens juga menyediakan tempat yang nyaman, hijau, sejuk, dan tidak terlalu banyak tercampur polusi udara. “Seperti cabang di Tebet, kami memilih lokasi tersebut karena berhadapan langsung dengan taman, sehingga ada suasana sejuk dan asri yang mendukug konsep resto kami,” kataya.

Burgreens bukan sekadar bisnis yang profit oriented. “Kami juga memedulikan social impact dari bisnis kami,” Helga menendaskan. Dari awal didirikan, Burgreens pun memperkenalkan makanan dan hidup sehat kepada anak-anak di sekolah. “Dengan mendirikan bisnis ini, kami juga bisa memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar.”

Helga yakin, salah satu kunci untuk kemandirian bangsa, revolusi dan keberlanjutan lingkungan hidup adalah social entrepreneurship. “Untuk teman-teman yang ingin membangun bisnis, carilah bisnis yang memberikan solusi untuk isu-isu sosial di Indonesia. Untuk membangun bisnis yang sustainable, penting banget untuk improving people’s lives, jangan hanya membangun bisnis yang sedang tren. Bila kita hanya membangun bisnis yang sedang tren, brand kita akan hilang saat tren tersebut berganti. Selain lebih sustainable, social entrepreneurship juga jauh lebih fulfilling untuk kita yang melakukan,” paparnya.

Menurut Helga, tak ada strategi khusus dalam menjalankan Burgreens. Dari sisi produk, Burgreens mengutamakan kualitas. “Kami ingin menyediakan makanan sehat dan simpel, karena bagi kami makanan simpel itu sudah menjadi kebutuhan bagi warga Jakarta,” katanya. Mereka mengedepankan pula kualitas pelayanan. Produk dan pelayanan yang berkualitas, masih menurut Helga, akan menggiring orang untuk datang kembali dan mengajak teman atau saudaranya.

Selain mengandalkan getok tular, mereka juga menggunakan media sosial, yakni Facebook, Twitter dan Instagram. “Saat ini yang paling sering kami gunakan adalah Instagram,” kata Helga. Awalnya, kebanyakan pengunjung Burgreens adalah warga asing dan pesohor seperti Sharena Gunawan, Titi DJ, serta Dewi Lestari bersama suaminya, Reza Gunawan, yang memang sudah lebih paham mengenai gaya hidup sehat. Pemasaran dari mulut ke mulut pun terjadi sehingga resto mereka ramai pengunjung. Bahkan, enam bulan belakangan, mereka melihat antusiasme warga lokal untuk menikmati sajian organik Burgreens semakin besar.

Vani, misalnya. Warga Jakarta ini sejak usia 18 tahun memilih menjadi vegetarian karena ingin hidup sehat. “Saat ini belum banyak restoran yang menyajikan menu makanan sehat atau khusus vegetarian. Burgreens mampu menyediakan makanan untuk vegetarian dan makanan yang disediakan juga enak dan healthy pastinya. Tempatnya juga enak, suasananya homey banget,” katanya. Ia juga melihat harga yang dibanderol Burgreens sesuai dengan makanan yang disajikan.

Hanya saja, Vani melihat, di Burgreens belum tersedia menu vegan tanpa bawang. Pasalnya, menurut dia, banyak orang vegetarian yang menunya vegan dan tidak mengonsumsi bawang. “Saya berharap semoga ke depannya restoran ini bisa menyediakan menu vegan tanpa bawang, sehingga saya dan para vegan tanpa bawang lainnya dapat memilih menu makanan yang lebih banyak. Di restoran ini memang bisa request untuk makanan yang tanpa bawang, tetapi jenis pilihan yang kami punya jadi lebih sedikit,” ungkapnya.

Burgreens menyediakan hampir 50 jenis menu, mulai dari veggie burger, steak, rice, snack, minuman, hingga aneka pasta. Harganya beragam sesuai dengan jenis menu makanan dan minuman. Misalnya, veggie burger mulai dari Rp 48.000 hingga Rp 125.000; steak mulai dari Rp 55.000 hingga Rp 80.000. Jumlah pengunjung Burgreens setiap hari 20-40 orang dan pada akhir pekan cenderung meningkat, bisa sampai 50 orang.

Diakui Helga, meski kini sudah memiliki dua resto, bukan berarti perjalanan bisnisnya mulus. “Membangun bisnis ini tidaklah mudah. Karena kami benar-benar fresh management, kami cukup menemui berbagai kesulitan. Jadi masih belum terlalu stabil, masih belum menemukan keseimbangan dan masih terus melakukan trial and error,” paparnya. Menurutnya, ketika ia dan rekan-rekannya memberanikan diri membangun bisnis, berarti mereka harus siap memberikan seluruh waktu untuk bisnis tersebut. “Berbisnis tidak seperti bekerja di kantor yang ada jam kantor. Berbisnis harus siap dengan waktu yang tersita selama 24 jam selama satu minggu,” imbuhnya.

Helga mengungkapkan, kiat sukses Burgreens yaitu pendiri memiliki visi yang jelas. “Have a clear vision, keep the faith, build & nurture your people, look for people who are passionate about your vision, dan keep learning, juga focus,” katanya. Dengan begitu, hambatan apa pun yang ditemui, bisa dilalui.

Mengedepankan kualitas produk dan pelayanan serta atmosfer yang disuguhkan membuat Burgreens diganjar berbagai penghargaan. Antara lain, Voted as Jakarta’s Best Healthy Food Restaurant by Yahoo, Winner of Trip Advisor’s Certification of Excellence 2014, dan Zomato’s Best Healthy Food Restaurant & Top 10 Trending Restaurant. “Selain dari segi penghargaan, pencapaian bagi kami adalah ketika kami bisa memberikan manfaat bagi orang-orang sekitar. Kami merasa sudah cukup berhasil membuat movement kepada orang-orang sekitar kami untuk makan dengan berkesadaran, untuk makan makanan yang bagus bagi kesehatan dan lingkungannya,” papar Helga.

Ke depan, Helga menargetkan bisa membuka cabang baru Burgreens. Ia juga tengah ancang-ancang membuat Burgreens Corner dengan ukuran resto yang lebih kecil. “Jadi, bisa mengajak orang di Jakarta untuk hidup lebih sehat,” katanya. Terpenting, menurutnya, mereka berempat menjalankan bisnis yang sesuai dengan passion dan gaya hidup sehat yang mereka jalani. “Pemilik restoran harus living the brand. Kalau sang owner saja masih makan makanan tak sehat, bagaimana pengunjung percaya bahwa makanan yang disajikan memang sehat dan dari bahan-bahan organik,” ujar Helga tandas.(*)

Henni T. Soelaeman dan Nerissa Arviana

Riset: M. Khoirul Umam

The post Menebar Virus Sehat dengan Burgreens Resto appeared first on SWA.co.id.

Menebar Virus Sehat dengan Burgreens Resto

$
0
0
Helga-Angelina

Ide dan peluang bisnis bisa datang dari mana saja. Lihat saja yang dilakukan Helga Angelina dan Max Madias. Berangkat dari keseharian sebagai vegetarian, mereka menggelindingkan restoran yang sesuai dengan gaya hidup mereka. Lewat Burgreens Resto yang dibesut pada November 2013 di Rempoa, Jakarta Selatan, mereka menyajikan aneka makanan dan minuman dari bahan organik. “Berawal dari kecintaan terhadap makanan sehat dan keinginan untuk hidup sehat, kami membangun Burgreens Resto,” ungkap Helga, lulusan Komunikasi Internasional, Arnhem Burgreens School, Belanda.

Gaya hidup sehat yang menjadi tren beberapa tahun terakhir ini membuat Burgreens Resto disambut hangat para penikmat makanan organik. Terlebih, resto ini juga melayani para vegetarian. Jangan heran, dalam tempo singkat, resto kedua pun dibuka, masih di Jak-Sel, yakni di Tebet.

Hidup sehat dilakukan Helga sejak berusia 15 tahun. Kelahiran 2 Desember 1990 ini sering mengonsumsi obat-obatan kimia sejak kecil. Seiring dengan bertambahnya pemahaman mengenai pola hidup sehat, ia memutuskan jadi vegetarian dan menjalani gaya hidup sehat. Sementara Max yang lulusan Manajemen Keuangan dari kampus yang sama, dituturkan Helga, pernah berada di titik jenuh dalam hidupnya. Kelahiran 28 Juni 1988 itu mulai merasa bosan dengan hidup tidak sehat, lalu mencoba mencari hobi-hobi baru yang sehat. Juga, melakukan riset tentang vegetarian. “Dari situ, Max mulai mencintai healthy food yang bisa menyembuhkan penyakit pada tubuh manusia.”

Saat kembali ke Indonesia setelah sekian lama bermukim di Belanda, mereka membuka resto yang sesuai dengan gaya hidup mereka. Awalnya, mereka memilih menularkannya lewat usaha online. Ternyata, rekan mereka, Banyu Bening Prieta, memiliki tempat di Rempoa. Kami mendirikan bisnis ini berempat, saya, Max, Banyu dan Glenn Patrick yang merupakan staf pertama kami,” tutur Helga. Mereka berempat memiliki latar belakang yang berbeda sehingga bisa saling melengkapi. Banyu, yang lahir pada 19 April 1991, lulusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan dan Glenn (lahir 27 Mei 1995) lulusan Homeschooled High School.

Pemilihan menu di Burgreens lahir dari kreasi Max serta tim dapur dan tim pemasaran. “Kami fokus pada kualitas bahan baku dan rasa produk,” kata Helga. Agar produknya menarik, Burgreens menawarkan produk sehat yang fokus pada kualitas bahan dan rasa. “Kami mencari bentuk junk food dan kami olah menjadi makanan sehat. Kami menawarkan burger tetapi berbahan dasar organik. Kami juga menawarkan steak yang kami buat dari mushroom.”

Bahan baku diambil langsung dari petani organik lokal di bawah bimbingan mitra mereka, Yayasan Usaha Mulia, juga bekerja sama dengan Organik Klub yang lokasinya berada satu gedung dengan Burgreens Resto Tebet. “Kami juga berkolaborasi dengan Klub Organik dalam membuat event edukatif seperti healthy plant-based cooking class,” imbuhnya.

Mengusung konsep green, Burgreens juga menyediakan tempat yang nyaman, hijau, sejuk, dan tidak terlalu banyak tercampur polusi udara. “Seperti cabang di Tebet, kami memilih lokasi tersebut karena berhadapan langsung dengan taman, sehingga ada suasana sejuk dan asri yang mendukug konsep resto kami,” kataya.

Burgreens bukan sekadar bisnis yang profit oriented. “Kami juga memedulikan social impact dari bisnis kami,” Helga menendaskan. Dari awal didirikan, Burgreens pun memperkenalkan makanan dan hidup sehat kepada anak-anak di sekolah. “Dengan mendirikan bisnis ini, kami juga bisa memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar.”

Helga yakin, salah satu kunci untuk kemandirian bangsa, revolusi dan keberlanjutan lingkungan hidup adalah social entrepreneurship. “Untuk teman-teman yang ingin membangun bisnis, carilah bisnis yang memberikan solusi untuk isu-isu sosial di Indonesia. Untuk membangun bisnis yang sustainable, penting banget untuk improving people’s lives, jangan hanya membangun bisnis yang sedang tren. Bila kita hanya membangun bisnis yang sedang tren, brand kita akan hilang saat tren tersebut berganti. Selain lebih sustainable, social entrepreneurship juga jauh lebih fulfilling untuk kita yang melakukan,” paparnya.

Menurut Helga, tak ada strategi khusus dalam menjalankan Burgreens. Dari sisi produk, Burgreens mengutamakan kualitas. “Kami ingin menyediakan makanan sehat dan simpel, karena bagi kami makanan simpel itu sudah menjadi kebutuhan bagi warga Jakarta,” katanya. Mereka mengedepankan pula kualitas pelayanan. Produk dan pelayanan yang berkualitas, masih menurut Helga, akan menggiring orang untuk datang kembali dan mengajak teman atau saudaranya.

Selain mengandalkan getok tular, mereka juga menggunakan media sosial, yakni Facebook, Twitter dan Instagram. “Saat ini yang paling sering kami gunakan adalah Instagram,” kata Helga. Awalnya, kebanyakan pengunjung Burgreens adalah warga asing dan pesohor seperti Sharena Gunawan, Titi DJ, serta Dewi Lestari bersama suaminya, Reza Gunawan, yang memang sudah lebih paham mengenai gaya hidup sehat. Pemasaran dari mulut ke mulut pun terjadi sehingga resto mereka ramai pengunjung. Bahkan, enam bulan belakangan, mereka melihat antusiasme warga lokal untuk menikmati sajian organik Burgreens semakin besar.

Vani, misalnya. Warga Jakarta ini sejak usia 18 tahun memilih menjadi vegetarian karena ingin hidup sehat. “Saat ini belum banyak restoran yang menyajikan menu makanan sehat atau khusus vegetarian. Burgreens mampu menyediakan makanan untuk vegetarian dan makanan yang disediakan juga enak dan healthy pastinya. Tempatnya juga enak, suasananya homey banget,” katanya. Ia juga melihat harga yang dibanderol Burgreens sesuai dengan makanan yang disajikan.

Hanya saja, Vani melihat, di Burgreens belum tersedia menu vegan tanpa bawang. Pasalnya, menurut dia, banyak orang vegetarian yang menunya vegan dan tidak mengonsumsi bawang. “Saya berharap semoga ke depannya restoran ini bisa menyediakan menu vegan tanpa bawang, sehingga saya dan para vegan tanpa bawang lainnya dapat memilih menu makanan yang lebih banyak. Di restoran ini memang bisa request untuk makanan yang tanpa bawang, tetapi jenis pilihan yang kami punya jadi lebih sedikit,” ungkapnya.

Burgreens menyediakan hampir 50 jenis menu, mulai dari veggie burger, steak, rice, snack, minuman, hingga aneka pasta. Harganya beragam sesuai dengan jenis menu makanan dan minuman. Misalnya, veggie burger mulai dari Rp 48.000 hingga Rp 125.000; steak mulai dari Rp 55.000 hingga Rp 80.000. Jumlah pengunjung Burgreens setiap hari 20-40 orang dan pada akhir pekan cenderung meningkat, bisa sampai 50 orang.

Diakui Helga, meski kini sudah memiliki dua resto, bukan berarti perjalanan bisnisnya mulus. “Membangun bisnis ini tidaklah mudah. Karena kami benar-benar fresh management, kami cukup menemui berbagai kesulitan. Jadi masih belum terlalu stabil, masih belum menemukan keseimbangan dan masih terus melakukan trial and error,” paparnya. Menurutnya, ketika ia dan rekan-rekannya memberanikan diri membangun bisnis, berarti mereka harus siap memberikan seluruh waktu untuk bisnis tersebut. “Berbisnis tidak seperti bekerja di kantor yang ada jam kantor. Berbisnis harus siap dengan waktu yang tersita selama 24 jam selama satu minggu,” imbuhnya.

Helga mengungkapkan, kiat sukses Burgreens yaitu pendiri memiliki visi yang jelas. “Have a clear vision, keep the faith, build & nurture your people, look for people who are passionate about your vision, dan keep learning, juga focus,” katanya. Dengan begitu, hambatan apa pun yang ditemui, bisa dilalui.

Mengedepankan kualitas produk dan pelayanan serta atmosfer yang disuguhkan membuat Burgreens diganjar berbagai penghargaan. Antara lain, Voted as Jakarta’s Best Healthy Food Restaurant by Yahoo, Winner of Trip Advisor’s Certification of Excellence 2014, dan Zomato’s Best Healthy Food Restaurant & Top 10 Trending Restaurant. “Selain dari segi penghargaan, pencapaian bagi kami adalah ketika kami bisa memberikan manfaat bagi orang-orang sekitar. Kami merasa sudah cukup berhasil membuat movement kepada orang-orang sekitar kami untuk makan dengan berkesadaran, untuk makan makanan yang bagus bagi kesehatan dan lingkungannya,” papar Helga.

Ke depan, Helga menargetkan bisa membuka cabang baru Burgreens. Ia juga tengah ancang-ancang membuat Burgreens Corner dengan ukuran resto yang lebih kecil. “Jadi, bisa mengajak orang di Jakarta untuk hidup lebih sehat,” katanya. Terpenting, menurutnya, mereka berempat menjalankan bisnis yang sesuai dengan passion dan gaya hidup sehat yang mereka jalani. “Pemilik restoran harus living the brand. Kalau sang owner saja masih makan makanan tak sehat, bagaimana pengunjung percaya bahwa makanan yang disajikan memang sehat dan dari bahan-bahan organik,” ujar Helga tandas.(*)

Henni T. Soelaeman dan Nerissa Arviana

Riset: M. Khoirul Umam

The post Menebar Virus Sehat dengan Burgreens Resto appeared first on SWA.co.id.

Laksita Pradnya P. Omset Ratusan Juta Rupiah dari Kaus Kaki

$
0
0
Laksita Pradnya P

Cantik, muda dan kaya. Itulah gambaran sosok belia yang memiliki nama Laksita Pradnya P. Di usia 20 tahun, ia mampu meraup pundi-pundi uang dari bisnis kaus kaki yang dibesutnya. Lewat merek Voria Socks, dara berdarah Kebumen, Jawa Tengah, ini menawarkan produk kaus kaki yang kerap dianggap murah menjadi produk branded. Hanya dalam tempo tiga tahun, Laksita mampu mendulang omset hingga Rp 300 juta per bulan dari jualan kaus kaki.

Laksita Pradnya PLaksita mengamati, selama ini kaus kaki tidak menjadi produk fashion. Warnanya monoton dan tidak variatif. Dari hasil riset kecil-kecilan yang dilakukannya, ia sampai pada kesimpulan bahwa pasar sejatinya jenuh dengan kaus kaki yang begitu-begitu saja. “Padahal, mereka sebenarnya ingin fashion yang lebih gila. Dari situ saya mulai lihat peluang,” dia menceritakan ikhwal ketertarikannya menekuni bisnis kaus kaki.

Mengawali bisnis, ia menjual kaus kaki motif tribal yang ditemukannya di Pasar Baru, kawasan pertokoan di Bandung. Waktu itu ia ingat modalnya Rp 45 ribu. Ia kemudian menjual kembali melalui Instagram. “Ternyata, pasarnya ada,” katanya. Sadar bahwa kaus kaki yang dijualnya adalah produk sisa ekspor, ia pun memberanikan diri mencari mitra pabrik supaya bisnisnya bisa terus menggelinding. Setelah mendapatkan mitra yang bisa diajak kerja sama, ia kemudian melakukan riset produk untuk menghasilkan produk yang berkualitas dengan motif yang bagus. Menggandeng salah satu pabrik kaus kaki di Kota Kembang, ia kemudian membesut Voria Socks, tiga tahun lalu. “(Nama) Voria diambil dari euforia. Saya berharap kaus kaki ciptaan saya ini bisa menjadi sebuah euforia,” ujarnya.

Ternyata, respons pasar bagus. Kaus kaki yang dipandang murah, jadi sesuatu yang branded dan masuk ke kelas menangah-atas. Pemasaran melalui Instagram masih menjadi pilihannya. “Saat ini memang era visual. Semua yang bagus secara visual bisa dipasarkan. Oleh sebab itu, saya serius dalam memasarkan lewat online. Setelah difoto, kaus kaki yang saya buat terlebih dulu saya poles,” paparnya. Agar lebih banyak yang lihat, ia juga menggeber strategi mention ke teman untuk dapat diskon. “Istilahnya semacam getok tular. Dan, ternyata hal tersebut berhasil. Selain itu, Voria juga memperbolehkan untuk membeli kaus kaki hanya satu biji, bukan sepasang. Jatuhnya malah lebih murah,” ujarnya.

Laksita juga menjadi pemasok untuk reseller melalui toko-toko di beberapa kota di Indonesia dan luar negeri. Tak mengherankan, pasarnya sudah ada di seluruh Indonesia. Pasar luar negeri pun tak luput digarapnya. Voria sudah mengepakkan sayap ke Singapura, Malaysia, Brunei dan Australia. Namun, dominasinya masih pasar lokal yang mencapai 70%. Dan, Bali menjadi kontributor terbesar untuk penjualan. Dalam sebulan, ia mencatat produksi mencapai 500 pasang. Harganya dibanderol Rp 30.000 untuk satu kaus kaki. Sepasang dbanderol Rp 85.000. “Mengapa harga per biji jatuhnya lebih murah, karena kami ingin menciptakan tren baru bahwa kaus kaki tidak harus sama, tetapi bisa mix and match,” ungkapnya. Untuk branding, ia berani memakai artis untuk meng-endorse Voria, antara lain Pevita Pearce.

Diakuinya, perjalanan meraih kesuksesan bukan tanpa kendala. Ketika menggulirkan bisnis kaus kaki, banyak yang mencemooh. Bahkan, sang ibu pun sempat menentangnya. “Orang-orang yang nyinyir dan mencemooh pasti ada. Mereka selalu menjatuhkan saya dengan kata kata ‘untuk apa bisnis kaus kaki, kan tidak kelihatan’. Ya sudah, saya bikin supaya terlihat,” ujarnya. Sementara, sang ibu menentang karena ia ingin dirinya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. “Ibu saya sempat kecewa saya tidak mau kuliah,” imbuhnya.

Halangan tersebut tak membuatnya surut melangkah. “Saya tetap keep easy dan menjalankan bisnis saya. Saya makin semangat, saya menjadikan semua celotehan mereka sebagai mesin pendorong saya, untuk membuktikan sukses itu tidak hanya dimulai dari gelar,” paparnya. Waktu memulai menawarkan produk pun banyak penolakan. “Karena, kaus kaki itu memang tidak terlihat dan masih sangat biasa. Belum istimewa. Makanya, dari situ kemudian saya buat kaus kaki ini lebih istimewa,” ucapnya.

Ia menuturkan, sejak kecil ia memang sudah hobi berbisnis. Dibesarkan oleh ibu yang single parent, ibunya selalu mengajarkan dirinya untuk berusaha sebelum mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. “Ibu saya ingin menunjukkan bahwa cari uang itu tidak gampang. Karena didikan demikian, saya akhirnya mulai peka dengan barang,” katanya . Misalnya, saat SD, ia sudah berjualan pensil. Saat SMP, ia berjualan pulsa. “Sempat dijuluki juragan pulsa. Dari tiga angkatan, yang jualan pulsa hanya saya,” tuturnya.

Saat SMA, ia semakin rajin berjualan, mulai dari kuliner hingga kerudung. Sampai suatu saat ia menjadi korban bully karena diketahui dari tes IQ, ternyata IQ-nya hanya rata-rata. “Temen-teman menertawakan saya,” ceritanya. Bahkan, ada satu teman yang mengatakan bahwa ia tidak akan sukses dengan IQ hanya rata-rata. “Intinya, dia meremehkan saya waktu itu. Saya sempat nangis,” imbuhnya. Ia pun kemudian bertekad untuk membuktikan kepada temannya tersebut bahwa ia bisa sukses. “Saya bahkan sampai tweet dan mention ke temen saya dengan caps lock semua, “Lihat, lima tahun lagi siapa yang lebih sukses di antara kita, saking saya emosi,” ceritanya.

Cemoohan itu juga membuat ia merasa tertantang. Ia lalu memutuskan berbisnis. Ia menentang keinginan sang ibu untuk melanjutkan pendidikan. Pertemuan dengan pemilik Zanana Chips membuahkan usaha bareng untuk ayam lunak dengan brand Ayam Razet. Tak bertahan lama karena produksi tidak stabil, ia melirik bisnis risol. Dalam tiga bulan bisnis risolnya punya tiga cabang. Namun, lagi-lagi karena kendala masalah produksi, bisnis risolnya juga tutup. Bisnis minuman jus kemudian dijalaninya. Ternyata, hanya bertahan tiga bulan.

Namun, ia tidak kapok. Ia bertekad akan tetap menekuni dunia usaha. Ia masuk Akademi Entrepreneur. Ia kemudian melirik bisnis fashion. “Saya belajar dari pengalaman bisnis kuliner saya, ternyata selalu ngadat di produksi. Saya akhirnya mencari yang saya langsung selling. Saya jual baju, jual kerudung, di toko online. Sampai akhirnya waktu saya jalan-jalan, saya menemukan kaus kaki motif tribal yang menurut saya bagus, namun dijual dengan harga cukup murah,” paparnya.

Kini, lewat Voria Socks, ia terbilang sukses. “Saya punya impian, suatu saat saya bisa punya gerai offline yang konsepnya sederhana, seperti rumah Hobbit. Jadi, semua bisa melihat berbagai macam produk saya sembari membeli. Saya juga sedang berusaha meningkatkan kualitas kaus kaki saya agar di pasar ekspor, kualitasnya tidak kalah dibanding kaus kaki branded,” paparnya.(*)

Henni T. Soelaeman dan Rizky C. Septania

The post Laksita Pradnya P. Omset Ratusan Juta Rupiah dari Kaus Kaki appeared first on SWA.co.id.

Jurus Marnova Menembus Pasar Singapura

$
0
0
marnova

Ngai Marnova, banting stir dari tenaga profesional di sebuah perusahaan multinasional menjadi pengusaha sepatu dan tas premium. Nova, demikian sapaanya, mendirikan PT Marnova di tahun 2012, sebagai perusahaan yang memproduksi produk fesyen bermerek Marnova. Ciri khas produk Marnova adalah terbuat dari kulit eksotis, eksklusif, dan pengerjaannya detil dibuat tangan. Setiap satu model dibuat dalam jumlah terbatas. “Produk Marnova memadukan kemewahan, exotic skin, nyaman, dan fashionable,” kata Nova.

Sepatu dan tas Marnova sudah menembus Isetan Supermarket, jaringan toko ritel premium di Singapura sejak tahun 2012 hingga saat ini. Marnova juga ditunjuk oleh Disney Indonesia untuk membuat tas dan sepatu Star Wars. Nova menyebutkan alasan Disney Indonesia memilih Marnova karena desain dan kualitas produk Marnova dianggap unik dan berkualitas internasional. “Saya mempresentasikan desainnya ke pimpinan Disney regional di bulan April atau Mei tahun 2015. Ketika itu, mereka sedang berkunjung ke Jakarta,” kenang Nova.

Desain yang digagas Nova mampu memikat Disney. “Akhirnya, saya dihubungi lagi oleh perwakilan Disney Indonesia untuk membuat tas dan sepatu Star Wars. Bagi saya, kepercayaan ini menjadi ajang pembuktian bahwa produk dalam negeri tidak kalah kualitasnya,” tandas mantan karyawan P&G Indonesia ini. Kolaborasi ini merupakan bagian dari rangkaian film Stars Wars: The Force Awakens di tahun lalu dan merupakan kolaborasi lisensi yang pertamakalinya di Asia. “Saya bersama tim penjahit kurang tidur demi mengerjakan proyek ini. Kami memproduksi sepatu dan tas hand made. Pengerjaannya detil dan harus rapih,” ungkapnya.

Ngai Marnova di Toko Marnova di Gedung Colony, Kemang, Jakarta. Marnova adalah merek tas dan sepatu kulit eksotis yang menembus pasar Singapura. (Foto : Dok Marnova).

Ngai Marnova di Toko Marnova di Gedung Colony, Kemang, Jakarta. Marnova adalah merek tas dan sepatu kulit eksotis yang menembus pasar Singapura. (Foto : Dok Marnova).

Nova mendapatkan lisensi produk Star Wars berkat keahliannya memproduksi produk buatan tangan yang bercita rasa seni serta elegan. Koleksi tas dan sepatu Marnova edisi Star Wars untuk pertama kalinya ditunjukan ke publik dalam ajang  Indonesia Comic Con pada November 2015. Karyanya diapresiai penggemar Star Wars. Bahkan, koleksinya itu diminati buyer dari Jepang dan negara lainnya. Marnova menghadirkan 13 produk dalam jumlah terbatas untuk 6 karakter ikonik yaitu Darth Vadder, C-3P0, Chewbacca, R2D2, Stormtrooper, dan Boba Fett.

Produknya itu memperkuat citra Marnova sebagai merek tas dan sepatu yang patut diperhitungkan. Sekedar kilas balik, Nova mengatakan pemasaran produknya di tahun pertama adalah melalui media sosial. Nova memilih kulit eksotis dari ular piton, kadal, bulu kuda poni dan bulu banteng. Dia menggunakan kulit hewan yang dikembangbiakkan secara legal untuk produk fesyen. Nova mengantong izin karena menggengam sertifikasi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of wild fauna and flora) untuk menggunakan kulit hewan yang tidak masuk kategori hewan langka serta dilindungi.

Untuk bahan ular, Nova menggunakan Phython Reticulatus (ular sawah). Kulit-kulit ini diberi warna khusus yang dicampur bahan preservatif buatan Jerman dan Jepang. Bahan perwanannya ini manghasilkan warna-warna yang tahan lama dan tidak berbau sehingga menghasilkan produk berkualitas tinggi. “Salah satu kelebihan Marnova adalah kustomisasi. Jadi, pembeli bisa memesan 100 warna untuk tas dan sepatunya sesuai keinginannya,” ungkap Nova. Koleksi warna-warnanya itu tersaji di situs marnova.co.id

Harga sepatu dibanderolnya seharga Rp 1,4 juta hingga Rp 2,4 juta/pasang. Kalau tasnya seharga Rp 3 juta-Rp 5,5 juta. Model tasnya beragam yang terdiri dari buckett bag, tas kepit (clutch), atau hand bag. Untuk sepatu Nova menyediakan sepatu flat (datar) dan sepatu berhak datar. Tas dan sepatunya dikemas dalam kardus yang didesain elegan dan layak dikoleksi. Nova membidik konsumen berusia 25-45 tahun yang berkocek tebal. Pelanggan Marnova, menurut Nova, berasal dari kalangan menengah-atas, diantaranya pesohor ternama seperti Indy Barens, Becky Tumewu, Anjasmara, Dian Nitami, Jupe, Ruben Onsu, Raffi Ahmad dan Eric Tjandra. Marnova juga digaet oleh desainer lokal, semisal Ivan Gunawan.

Perempuan kelahiran Makassar, 34 tahun silam ini cukup senang dengan perkembangan bisnisnya. “Saat ini, rata-rata penjualan per bulan sebanyak 150 pasang sepatu. Penjualan sepatu dari Januari 2015 yang hanya 55 pasang sudah naik menjadi 184 pasang di Januari 2014, kalau dipersentasekan penjualan sepatu Marnova naik sebesar 234% ,” ujar alumnus S-2 Jurusan Bisnis dari Northwood University, Michigan, AS, ini. Sejauh ini, penjualan dari toko online-nya memberikan kontribusi sebesar 60%-70%. Sisanya disumbang dari penjualan di toko dan pusat perbelanjaan semisal Goods Dept di Pacific Place, Mal Pondok Indah Mall, dan Lotte Shopping Avenue di Jakarta.

Sepatu Marnova edisi Star Wars dari kulit ular piton. (Foto : Dok Marnova).

Sepatu Marnova Star Wars edisi Storm Trooper dari kulit ular piton. (Foto : Dok Marnova).

Pramuniaga toko

Perkembangan bisnis Marnova hingga detik ini cukup melegakannya. Ia merintis bisnisnya dari modal yang dikumpulkannya di tabungan serta pengalamannya menjadi konsultan fesyen selama lima tahun. “Saya bukan berasal dari keluarga berada. Saya menjadi entrepreneur karena idealisme untuk memproduksi produk fesyen lokal yang berkualitas internasional,” tegas Nova. Di awal perjalanannya, Nova kerapkali menghadapi tantangan yang menciutkan semangatnya. Misalnya saja, mentalitas pramuniaga tokonya yang tidak becus mengelola tokonya, kualitas jahitan yang buruk, atau kekurangan modal kerja.

Dia menuturkan dirinya seringkali gemas mencermati budaya kerja dan minimnya profesionalitas pramuniaga tokonya. Kebersihan toko terkadang terbelengkalai. Daftar masalahnya bertambah panjang karena kualitas jahitan produknya tidak sesuai standar yang ditetapkannya. Belum lagi masalah pembagian marjin keuntungan dengan salah satu department store terkemuka di Jakarta. Ini menambah kepala Nova bertambah pening. Dia nyaris menyerah untuk meneruskan bisnisnya itu atau memindahkan produksinya ke China agar tidak pusing dengan hal-hal seperti demikian. Akan tetapi, mental baja Nova mampu mengurungkan niat tersebut.

Nova yang otodidak mempelajari bisnis fesyen ini menemukan jawaban atas berbagai masalah yang dijumpainya. Dia terjun langsung menjadi pramuniaga toko di tahun pertama hingga kedua Marnova beroperasi. Ia melayani konsumen yang bertandang ke tokonya. Padahal pekerjaannya menumpuk karena dia harus merencanakan pengembangan bisnis dan desain produk. Untuk masalah penjahit, Nova memberikan pelatihan kepada para penjahitnya. Bengkel kerja Marnova berlokasi di Bandung, Jawa Barat. Ia bersama rekannya Vera Kelana Suherman, yang didapuk sebagai Kepala Produksi Marnova, acapkali memberikan bimbingan ketrampilan menjahit. Kekurangan modal didapatkan dari pinjaman bank. “Sedangkan masalah dengan department store saya selesaikan dengan menyelesaikan masa kontrak saya berjualan di jaringan toko itu. Saya bersikap profesional,” tuturnya.

Sejauh ini, Marnova belum memberikan laba kepada Nova. Namun, dia menyakini bisnisnya akan memberi keuntungan ke depannya. Itu hanya soal waktu saja. Kini, Nova mempekerjakan 12 penjahit dan lima pegawai yang terdiri dari pramuniaga toko dan staf administrasi.”Saya ingin memajukan produk buatan Indonesia,” urainya. Moto Nova menjadi pengusaha adalah menganggap kesuksesan bukanlah akhir dari segalanya, kegagalan bukan hal yang fatal, dan tetap berani melanjutkan sesuatu yang sudah dijalankan.”Sebagai pengusaha, saya tidak ingin mudah kecewa dan fokus berkarya,” paparnya.

Terlebih lagi, Marnova terinspirasi dari hobinya membeli sepatu yang sesuai keinginannya. Nova menyebutkan selain itu penyakit punggung yang dideritanya juga memercikan ide membuat sepatu yang bisa dikustomisasi. Itulah cita-citanya yang ingin terus dilanjutkannya. “Ke depannya, saya ingin mengejar target profit dan menambah penjualan di online,” tukas Nova. (***)

The post Jurus Marnova Menembus Pasar Singapura appeared first on SWA.co.id.

Suzan Zhang

$
0
0
Suzan Zhang

Di usianya yang baru 33 tahun, Suzan Zhang sudah dipercaya menempati posisi Presdir PT Central Data Technology (CDT). Perempuan kelahiran Bintan, 18 Juni 1982 ini memulai kariernya di Arisma Data sebagai manajer pengembangan bisnis sejak tahun 2003 hingga 2006. Setelah itu, ia bergabung dengan Attrix Technology Pte. Ltd. di Singapura sebagai country sales manager tahun 2006, sampai akhirnya dia berlabuh di CTI Group pada 2009.

Suzan ZhangWaktu di CTI Group, saya kerja di anak usahanya, yaitu Blue Power Technology sebagai manajer grup teknologi & sistem tahun 2009, dan GM Komunikasi & Pengembangan Korporat PT Computrade Technology International yang juga anak perusahaan CTI Group tahun 2013. Jadi, hingga sekarang saya sudah lebih dari 6 tahun di CTI Group,” tutur pehobi membaca dan yoga ini.

Sebagai orang nomor satu di CDT, Suzan dipercaya manajemen untuk membawa CDT ke next level yang sudah ditargetkan oleh CTI Group. CDT ini terkenal sebagai distributor yang fokus pada solusinya Oracle. Sementara itu, saat ini bisnis dan kebutuhan konsumen bergeser dan tidak lagi hanya berbicara solusi. Tadinya CDT hanya fokus ke orang-orang teknologi informasi (TI) sebagai end customer, tetapi mulai sekarang sudah menggarap pemain bisnis. Padahal, karena ada transformasi digital, trennya ke cloud, sehingga customer user tidak lagi orang TI saja, tetapi juga business user.

Nah, jika sudah ke business user, maka bagaimana caranya kami harus memberikan nilai bisnis ke customer. Apa sih yang benar-benar dibutuhkan oleh pasar? Jika kami berusaha memberikan value ke stakeholder, kami harus memahami apa tantangan mereka dan apa harapan mereka. Karena itu, saya melihat CDT perlu menambah portofolio. Jadi, apa yang kami berikan ke konsumen akan menjadi sebuah solusi,” Suzan menguraikan. Maka, tahun ini CDT tidak lagi fokus di satu merek. Ada 6 merek yang dipasarkan, yaitu Oracle, F5, Fujitsu, Hitachi Data System, DB Visit, dan Pure Storage.

Sejumlah agenda bisnis tahun 2016 sudah disiapkan Suzan. Dari sisi bisnis, dia mengaku akan habis-habisan menggenjot kompetensi yang terkait dengan solusi 6 merek portofolio CDT. Juga, hendak memperbaiki teknologi kompetensi. Untuk go to market, jika selama ini lebih banyak membicarakan teknologi, nanti akan menekankan diskusi mengenai solusi, sehingga CDT akan menjadi jembatan antara prinsipal untuk menggabungkan solusi buat konsumen. Melalui serangkaian perencanaan bisnis ini, CDT optimistis dapat mencapai target pertumbuhan bisnis dua digit.

Lantas, bagaimana Suzan meningkatkan kompetensi? Di luar pekerjaannya, rupanya Suzan menjadi salah satu komite di CIO Community, yang merupakan kumpulan para CIO di semua sektor industri di Indonesia. “Karena anggotanya berasal dari berbagai industri, pengetahuan saya menjadi semakin luas. Selain itu, saya juga mengikuti forum Harvard Business Review. Dari dua hal itulah saya berlatih untuk meningkatkan kompetensi,” dia menjelaskan.

Berada di puncak karier dan menguasai banyak ilmu TI, Suzan tidak lekas puas. Dirinya ingin berbagi dengan orang lain. “Nantinya, jika bisnis CDT sudah sangat sukses, saya ingin mengembalikan kesuksesan ini ke masyarakat melalui jalur pendidikan. Kebetulan, saya juga suka mengajar. Selama 3-4 tahun ini saya telah mengajar tentang manajemen dan etika moral di sebuah lembaga. Muridnya bukan hanya anak kecil, tapi juga para profesional,” ujar lulusan S-1 Jurusan Sistem Informasi Universitas Bina Nusantara, Jakarta ini.

Eva M. Rahayu/Maria H. Azzahra

The post Suzan Zhang appeared first on SWA.co.id.


Duo Hutagalung Penerus Arion

$
0
0
Manola Hutagalung, President Directur (b.putih) dan Marion Hutagalung Director (b.coklat) Mano Marion Company (ARION), berpose di depan armada, Youngters Edisi05 2016

Tak ingin menjadi bayang-bayang nama besar ayahnya sebagai penerus bisnis Arion Paramita Holding Company, Manola dan Marion Hutagalung memilih mengibarkan bendera sendiri. Lewat PT Mano Marion Transportation, duo bersaudara ini memang memilih ranah bisnis yang menjadi cikal-bakal bisnis keluarganya. “Kakek saya mendirikan Arion dimulai dari transportasi. Papa saya di umur 27 tahun juga fokus di transportasi. Ibaratnya, transportasi sudah menjadi DNA bagi kami,” ungkap Manola. Ditambah lagi, dari kecil dia menyukai otomotif. “Kami suka memodifikasi mobil. Bidang transportasi itu menantang. Ada banyak elemen yang harus dipersiapkan seperti perizinan sampai mencari sopir yang berkualitas,” ungkapnya.

Manola dan Marion Hutagalung

Manola Hutagalung dan Marion Hutagalung

Cikal-bakal Arion Paramita memang dimulai dari jasa transportasi. Meskipun, awal datang ke Jakarta dari Medan, Mangaradja Haolanan Hutagalung sempat mendirikan toko sandang pangan pada 1957. Lima tahun kemudian, saat pelaksanaan Asian Games di Jakarta, Mangaradja dipercaya oleh Presiden Soekarno untuk mempersiapkan angkutan umum. Pada 1969, Gubernur DKI Ali Sadikin, memercayakan pengelolaan transportasi umum pertama di Jakarta kepada Mangaradja. Inilah yang menjadi fondasi kerajaan bisnis Arion. Kemudian, di tangan generasi kedua, U.T. Murphy Hutagalung, lini bisnis menggurita ke berbagai sektor. Saat ini, Arion Holding membawahkan 18 perusahaan, meliputi transportasi, pariwisata, properti, keuangan, servis dan industri.

Sebagai generasi ketiga, anak pertama dan kedua Murphy Hutagalung ini mengaku ingin membuktikan diri mereka mampu mandiri sebelum didapuk menjadi penerus Arion. Mereka ingin mematahkan mitos bahwa generasi pertama membangun, generasi kedua mengembangkan, dan generasi tiga menghancurkan. Saat ini, Arion sedang dijalankan oleh generasi kedua, yaitu papa saya dan juga adik-adiknya,” kata Marion. Ia menambahkan, meski perusahaan keluarga, Arion tidak bisa begitu saja dilanjutkan oleh penerusnya. “Kami harus punya pengalaman yang cukup untuk bergabung dengan Arion. Kami ingin membuktikan diri sendiri di ranah kami dulu. Sebelum kami berhasil membuktikan diri, kami tidak mau ikut campur ke Arion,” ujar Marion, kelahiran Jakarta 25 April 1991.

Keinginan untuk menunjukkan jati diri memicu mereka segera menerjuni bisnis pada Mei 2010 meski kuliah mereka belum selesai. Saat itu, Manola masih duduk di semester V Jurusan Manajemen Bisnis Bina Nusantara Internasional dan Marion di semester III Jurusan Hukum Universitas Gadjah Mada. Dengan modal Rp 30 juta pinjaman dari orang tua, mereka membayar uang muka Kia Travelo. Perhitungan awal, mereka bisa kembalikan dalam waktu dua tahun di luar cicilan. Ternyata, pada bulan kelima mereka sudah bisa membayar uang muka satu unit mobil lagi. “Total, Papa memberikan modal usaha Rp 40 juta dan kami bisa kembalikan modal tersebut dalam waktu tiga tahun,” kata Manola, kelahiran 12 Mei 1989 yang bertindak sebagai Presiden Direktur PT Mano Marion Transportation.

Jasa transportasi yang mereka tawarkan: wisata, travel dan antar-jemput pegawai. Dalam waktu lima tahun, mereka mampu menggaet klien korporasi besar, mulai dari hotel yang rata-rata bintang 5, Kawasaki, LG, Toshiba, Angkasa Pura 2, KBN, Bay Walk, Marriot Hotel. dan maskapai penerbangan. Manola mengklaim, 80% maskapai penerbangan yang masuk Indonesia adalah klien mereka. “Kami yang meng-handle untuk penjemputan kru,” katanya. Saat ini, total klien sekitar 100. Selain B2B, mereka juga menggarap pasar B2C. Pasar B2C biasanya travel dan wisata. Jika musim liburan, 80% B2C. Tetapi, jika bukan musim liburan, 70% B2B. Manola menyebut, setiap bulan omsetnya bisa tembus Rp 200 juta. Per tahun, omsetnya bisa tumbuh 50%.

Saat ini, mereka memiliki 50 unit mobil, mulai dari kapasitas 16, 20, sampai 23 penumpang. Jumlah sopir 55 orang karena lima orang untuk cadangan. Sementara staf di kantor ada 10 orang. Company value saat ini, diakui Manola, sekitar Rp 15 miliar hanya untuk unit kendaraan yang beroperasi. Rentang harga penyewaan mulai dari Rp 1.200.000 per hari untuk Jabodetabek dan Rp 1.520.000 per hari untuk tujuan Bali. Setiap tahun, mereka menambah minimum lima unit mobil.

Menurut Manola, strategi pemasaran yang mereka jalankan seperti umumnya perusahaan. Selain model tradisional seperti brosur dan spanduk, mereka juga menggunakan pemasaran digital: melalui situs web dan media sosial Facebook. “Kami selalu memberikan mobil baru kepada klien kami. Strategi yang juga penting adalah diferensiasi,” katanya.

Ia menambahkan, kelebihan mereka adalah mengutamakan kualitas. Dari sisi pengemudi, rutin diikutkan pelatihan. Dari sisi perawatan, mereka selalu menggunakan bengkel resmi. Jika selesai kontrak, mobilnya dilelang. “Kami selalu memberikan mobil baru kepada klien kami,” ungkap Manola. Jika ada kontrak baru, mereka memberikan unit mobil yang baru. Dari sisi pemasaran, tim pemasaran siaga 24 jam. Jika ada kerusakan pada mobil, akan langsung diganti. “Yang paling penting di bisnis ini adalah kualitas untuk menjaga loyalitas konsumen,” tambah Marion, Direktur Mano Marion Transportation.

Marion menuturkan, salah satu inovasi mereka adalah membuat shuttle. “Kami menyediakan shuttle dari hotel ke bandara 24 jam untuk klien kami seperti Sheraton, Shangri-La, Sahid, dan hotel bintang 5 lainnya,” ungkapnya. Sistem shuttle ini, imbuhnya, kini diikuti pengembang perumahan. Saat ini, mereka sedang mengajukan proposal ke Gubernur DKI Jakarta untuk penyediaan shuttle di kawasan Central Business District.

Diakui Manola, transportasi adalah bisnis yang kompleks. Selama bisnisnya berjalan, ada tiga masalah yang dihadapi: pengemudi, pemasaran dan teknik. “Pengemudi tidak bagus, tetapi marketing dan teknik bagus, tidak ada yang mau naik. Begitu juga sebaliknya. Jika salah satunya tidak bagus, tidak akan jalan. Tiga fondasi inilah yang saya bangun,” katanya. Selama ini yang menjadi mentor bisnis adalah ayah mereka. “Papa di dalam perusahaan ini sebagai komisaris. Orang tua mendukung sekali usaha kami dan berkomitmen terus bersama-sama untuk mencapai kesatuan.”

Menurut Manola, meski Arion memiliki bisnis transportasi juga, tidak boleh saling senggol. “Orang tua mengajarkan satu kesatuan. Kami sifatnya sebagai komplemen bisnis Arion,” ungkapnya. Menurutnya, di Arion mereka memiliki konsep kekeluargaan. “Kami berikrar harta tidak boleh memecah belah kami karena harta tidak dibawa mati. Yang paling penting adalah satu kesatuan dengan keluarga,” katanya tandas.

Saat ini, boleh dibilang Manola dan Marion telah sukses mengibarkan usaha sendiri. Akankah kemudian mereka bergabung dengan Arion? “Soal itu masih terlalu dini. Papa sendiri masih termasuk pebisnis muda, usianya masih 50 tahun. Untuk sementara ini, jujur kami sedang berambisi dengan perusahaan kami sendiri,” ujar Marion. Bahkan, ia menandaskan bisnis yang mereka bangun ditargetkan menjadi lebih besar dibandingkan perusahaan orang tua. “Tahun ini kami akan expand ke properti dan teknologi seperti e-commerce,” imbuhnya.

Murphy Hutagalung sendiri pernah mengatakan kepada media bahwa pihaknya tengah mempersiapkan Arion untuk go public. “Perusahaan ini harus mulai dikelola oleh profesional. Anak-anak tidak boleh turut campur. Ada istilah generasi pertama membangun, generasi kedua meneruskan, ketiga menghabiskan. Nah, saya tidak ingin itu terjadi di sini,” katanya. Karena itu, ia tidak mempersiapkan putra mahkota. “Anak harus berbisnis di luar Arion. Kami sekeluarga sepakat. Kenapa tidak kita libatkan, kalau anak saya sekian, saudara saya anaknya sekian. Jumlahnya banyak, bicaranya masing-masing sudah kebutuhan sendiri. Itu prinsip, anak-anak bekerja di luar Arion, meski mereka tetap sebagai pemegang saham terbesar perusahaan ini,” ujarnya menjelaskan.

Bagi Manola, prinsip ayahnya itu sejalan dengan didikan yang diterimanya selama ini. Diakuinya, orang tuanya selalu mendidik untuk selalu melihat ke bawah. “Kesombongan adalah hal yang paling tabu di keluarga kami,” katanya. Ayahnya selalu mengajarkan untuk setiap hari bersyukur dan melakukan yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain. “Orang tua kami juga mengajarkan bahwa mencari uang itu untuk membahagiakan orang lain. Dengan menjadi pebisnis, kami bisa membahagiakan keluarga dan karyawan. Saya dan Marion berbisnis bukan hanya mencari uang tetapi juga menyalurkan berkat dari Tuhan untuk orang lain,” ungkap Manola.

Dalam hal bisnis, menurut Manola, ayahnya memberikan wejangan semata. “Ilmu bisnis saya pelajari di universitas,” katanya. Namun, dikuinya, sejak SMA mereka sudah berbisnis dengan menjual sandwich sehat yang dibuat sendiri. “Setiap hari saya bangun pukul 5 pagi untuk membuat sandwich dan selalu ludes terjual,” tutur Manola.(*)

Henni T. Soelaeman dan Maria Hudaibyah Azzahra

The post Duo Hutagalung Penerus Arion appeared first on SWA.co.id.

Solusi Dana Pendidikan dari Danadidik.com

$
0
0
Dipo Satria Ramli (kanan) dan Januar Sudharsono, Co Founder Danadidik.com
Dipo Satria Ramli (kanan) dan Januar Sudharsono, Co Founder Danadidik.com

Dipo Satria Ramli (kanan) dan Januar Sudharsono, Co Founder Danadidik.com

Tidak sedikit dari masyarakat Indonesia yang demi mengejar mimpinya belajar di bangku sekolah hingga perguruan tinggi, harus terputus di tengah jalan karena faktor ekonomi. Ada pula yang memilih meminjam dana kepada teman atau saudaranya guna menyelesaikan biaya pendidikan yang semakin lama semakin meningkat.

Menurut Dipo Satria Ramli, Co-founder dari Danadidik.com sebanyak 73% orang tua murid di Indonesia rela meminjam dana ke berbagai pihak untuk keperluan biaya pendidikan anak-anaknya. Bisa lewat keluarga, teman terkadang juga terpaksa meminjam kepada para sumber dana dari loan shark (lintah darat) atau yang familiar di masyarakat disebut dengan rentenir.

“Dulu almarhumah ibu saya pernah menunggak bayar uang kuliah saya. Sebelum menikah, istri saya juga pernah kesulitan membayar uang kuliahnya. Lalu, saya kontak beberapa bank, tapi tidak ada yang bisa. Sejak itu saya terpikir untuk berbuat sesuatu. Maka, lahirlah Danadidik.com ini,”kenang penggemar olah raha paralayang itu.

Danadidik.com adalah platform pinjaman pelajar (student loan) yang menggunakan sistem penggalangan dana (crowdfunding). Mulai berdiri pada 17 Juni 2105, Danadidik bertujuan membantu mahasiswa yang membutuhkan pinjaman untuk menyelesaikan studi mereka, sambil menawarkan imbal hasil (return) yang menarik untuk sponsor atau/ investor. Misinya, kesempatan yang sama untuk pendidikan tinggi.

Mantan Direktur di Macquarie dan ABN AMRO itu tidak sendiri, bersama dua sahabatnya Januar Sudharsono, (CTO) dan Eka Ginting, (mentor). Dipo memantapkan target pasar yang dibidik adalah para siswa yang akan bekerja setelah lulus, bisa dari kalangan mahasiswa, akademi, SMK, atau terkadang sertifikasi. Syaratnya kelulusan dalam waktu kurang dari 2 tahun dan minimal peminjaman rata-rata Rp 10 juta.

“Danadidik.com bullish terhadap beberapa industri seperti kesehatan (medikal) & engineering, tapi terbuka untuk siapa saja,” lanjut ayah dua anak itu.

Bedanya dengan sumber pendanaan lainnya, Danadidik.com diklaim sebagai pemula produk student loan di Indonesia. Selain itu, menawarkan masa tenggang (grace period) dalam peminjaman dana pendidikan. Ini adalah masa dimana tidak ada pembayaran angsuran selama siswa masih menyelesaikan studi-nya. Sementara pinjaman lain, umumnya mengharuskan pembayaran angsuran 1-2 bulan setelah dana cair.

Tidak hanya itu, bagi sponsor (pemberi dana) kehadiran Danadidik bisa menjadi kesempatan untuk diversifikasi. Sebagai peluang investasi alternatif yang bisa compund dan memberikan return plus bunga. Dan tentunya menjadi bagian dari masa depan dan karir seseorang.

“Sedangakan untuk siswa (penerima dana) pengembalian bunga nya sangat terjangkau mendekati 0%. Tepatnya antara 1-5,0% per bulan sebelum resiko default. Pengembalian dana dilakukan setelah mahasiswa/siswa tersebut bekerja dan mempunyai masa tenggang (grace period). Periode dimana peminjam masih menyelesaikan studi dan tidak diharuskan membayar cicilan,” jelas Dipo.

Keunggulan lainnya, seluruh pendapatan bunga (interest income) dari penerima dana, akan dikembalikan ke sponsor. Lalu, dari mana Danadidik mendapatkan profitnya? Dipo merinci keuntungan Danadidik diperolah dari fee transaksi (transaction fee), yang terdiri dari beberapa sumber: registrasi, biaya arranging fee dan servis fee selama pembayaran cicilan.

Dengan model transaction fee, diharapkan agar insentif Danadidik in-line dengan sponsor. Artinya, Dipo dan tim hanya akan mendapatkan keuntungan bila sponsor mendapatkan return.

Alhasil, mulai Februari 2016, ada lebih dari 2,500 siswa mendaftar di Danadidik dan setiap bulan rata-rata pertumbuhannya mencapai 15-20%. Hingga 2016 Dipo menargetkan sebanyak 500 siswa dapat pendanaan pendidikan dari Danadidik.

Mengenai investasi, Dipo mengaku sumber investasi dari kantong pribadi para pendiri. Meski tidak mau merinci nominalnya, target break even pointnya dalam kurun waktu 18-24 bulan. Tapi perlu diingat kembali, Danadidik adalah situs penggalangan dana (Crowdfunding atau Peer-to-Peer Lending) khusus untuk pinjaman pendidikan (student loan).

“Jadi pendanaan tiap pinjaman diberikan oleh sponsor tapi Danadidik juga berkomitmen untuk mengalokasikan dana pribadi kami untuk tiap kampanye penggalangan dana siswa,” jelas pengagum pengusaha sosial Muhammad Yunus itu.

Sebagai pengusaha pemula, Dipo dan kawan-kawan mengaku kesulitan dalam meyakinkan industri keuangan. Bahwa pembiayaan pendidikan resikonya tidak sebesar yang ditakutkan dan secara komersial peluangnya sangat besar dan prospektif. (EVA)

The post Solusi Dana Pendidikan dari Danadidik.com appeared first on SWA.co.id.

Perjuangan Abie Abdillah Bergelut di Bisnis Desain Rotan

$
0
0
Abie Abdillah

Kekayaan ragam rotan di Nusantara telah menjadi ketertarikan tersendiri bagi Abie Abdillah. Penerima penghargaan desain di banyak ajang internasional itu punya ambisi besar untuk mengangkat derajat rotan Indonesia, hingga bisa terkenal di kancah internasional. Bagaimana tidak. Abie menceritakan, sekitar 80% kebutuhan material rotan dunia disokong dari Indonesia. Itu pun dari sekitar 600 spesies, baru 8% yang dimanfaatkan menjadi komoditas komersial. “Jadi masih besar potensinya,” ujarnya.

Abie AbdillahIndustri rotan sendiri, ia menuturkan, sempat mengalami stagnasi. Salah satu penyebabnya, kurangnya perkembangan desain material rotan dalam beberapa dekade terakhir. Maka tak heran, ia kemudian menekuni benar desain rotan. Ia ingin menciptakan desain mebel berbahan rotan dengan nuansa modern kontemporer yang disesuaikan dengan selera pasar.

Ia punya mimpi membuat rotan sebagai indentitas material bangsa layaknya seperti Tiongkok, yang terkenal sebagai Negeri Tirai Bambu. Jadi, semacam national branding lewat unsur material, memperkenalkan Indonesia tidak hanya lewat budaya, tetapi bisa pula lewat rotan. “Saya ingin rotan Indonesia berkelas dan bermartabat. Skill perajin di Indonesia merupakan yang tercanggih di dunia untuk rotan dan ukir,” ujar pria lulusan Jurusan Desain Produk Institut Teknologi Bandung ini.

Sejak masih kuliah ia sudah menggali pengetahuan seputar rotan. Abie bahkan sempat mendatangi perusahaan PMA asal Jepang, Yamakawa, di Cirebon. Saat itu dia merasa beruntung diberi kesempatan berbincang dengan pemiliknya, Yuzuru Yamakawa.Ada satu kalimat dia yang selalu saya kenang, ‘desainer Indonesia kalau mau dikenal dunia jadilah desainer rotan’,’’ ujarnya menceritakan. Berbekal nasihat itulah, akhirnya terbesit dalam benaknya membuka bisnis studio desain yang punya kekhususan produk rotan bernama Studio Hiji. Studio itu, ia merintisnya sejak tahun 2009, tetapi baru diseriusi tahun ini.

Tak hanya menawarkan jasa desain, Studio Hiji juga masuk ke hulu dengan menjual produk hasil desainnya sendiri. Meski saat ini dari sisi omset belumlah terlalu besar, berkisar Rp 30-40 juta per bulan, ia percaya potensi Studio Hiji bisa besar ke depan.

Berbagai strategi telah ia persiapkan, termasuk pemilihan pasar yang dikhususkan bagi arsitek, kontraktor dan desainer interior. Harapannya, agar timbul pesanan untuk hotel, restoran dan kafe. “Untuk produksi sendiri, saat ini kami belum punya tempat produksi sendiri. Kami ada empat mitra produksi untuk rotan, dan dua mitra produksi untuk kayu,” katanya menjelaskan.

Sekarang setidaknya sudah beberapa produk yang berhasil diekspor, dengan komposisi 80% untuk pasar lokal dan 20% pasar ekspor. Perjuangan Studio Hiji untuk bisa mengekspor, ia mengisahkan, tidak mudah alias sempat berdarah-darah lantaran harus mencari calon pembeli di pameran internasional, seperti di Singapura. “Kadang jika saya memaksa ikut pameran, saya keluar uang puluhan juta tapi ketika pulang tidak ada buyer yang beli. Pada saat 1-3 tahun awal masih sangat struggle,” ungkapnya.

Keluar uang puluhan juta untuk pameran tersebut tidaklah mudah, karena sejak memutuskan untuk fokus di Studio Hiji dan resign dari sebuah perusahaan di tahun 2012, otomatis Abie tidak punya pendapatan tetap. “Saya sempat stres, yang tadinya punya penghasilan tetap per bulan, jadi tidak ada. Lalu, jika ada produksi yang tidak sesuai dengan ekspektasi, harus ditalangi untuk produksi lagi,” ia menambahkan.

Namun, kegigihannya untuk terus berjuang tidak sia-sia. Saat ini, Studio Hiji telah punya satu distributor untuk Asia Tenggara yang berbasis di Singapura, yaitu The Common Goods, dimiliki oleh Tommy Huang dan Angeline Tn. Pertemuan Abie dan Angeline bermula ketika ia mulai mengikuti pameran di Singapura secara rutin. “Tahun 2013 Angeline ingin memiliki bisnis sendiri. Mereka meminta izin untuk menjadi partner distribusi saya, sehingga di tahun 2014 kami tanda tangan kontrak dan mereka jadi distributor untuk Asia Tenggara,” Abie menerangkan. Lewat distributor inilah, saat ini Studio Hiji telah memiliki klien salah satu restoran di Malaysia.

Ke depan, ia punya target untuk bisa ikut pameran di kota Milan yang merupakan kiblat furnitur. Karakter pembeli lokal, disebutkan Abie, mudah terpengaruh oleh portofolio di luar negeri. “Jika tidak punya nama di luar, tidak akan dilirik. Maka, saya ikut banyak kompetisi dan penghargaan di luar negeri, sehingga cukup membantu dalam pemasaran dan penjualan,” ungkapnya.

Kepiawaian Abie dalam mendesain produk rotan, rupa-rupanya juga memikat hati William Simiadi, Direktur Grup Vivere. Ia menggandeng Abie untuk mendesain rangkaian produk Vivere yang akan diluncurkan bulan Maret mendatang. Vivere dalam hal ini tidak membeli produk Abie, melainkan berkerja sama dalam pengembangan desain produk. “Produk yang akan kami luncurkan seputar furnitur, seperti sofa, accent chair, dining table, coffee table, dan lain-lain,” ujar William.

William melihat Abie sebagai desainer muda berbakat yang punya kemampuan dalam memahami keinginan dan arahan klien. “Ia cukup ahli untuk produk rotan,” ia menegaskan.

Ananda Putri & Maria Hudaibyah Azzahra

Riset: M. Khoirul Umam

BOKS:

Profil Studio Hiji

Nama pemilik/pendiri: Abie Abdillah

Tempat, tanggal lahir: Bandung 31 Desember 1986

Bisnis: Studio Hiji (desain dan produk mebel rotan dan kayu)

Prestasi:

= Platinum Prize Winner dalam Indonesia Furniture

Design Award (2011)

= Honorable Mention Singapore Furniture Design

Award (2011)

= Rising Asian Talents di acara Maison & Objet Asia

2015 di Singapura

= Innovative Craft Award di Thailand (2015)

The post Perjuangan Abie Abdillah Bergelut di Bisnis Desain Rotan appeared first on SWA.co.id.

Cara Andre Surya Berbisnis Sekolah Animasi dan Desain 3D

$
0
0
Andre Surya

Andre Surya tampaknya tak bisa dipisahkan dari dunia game. Sejak kecil ia sudah memainkannya. Bahkan, ketika duduk di bangku SMP, Andre sudah kecanduan permainan video game tiga dimensi (3D).

Berkat game pula karier profesional Andre melambung hingga menembus industri film Hollywood. Namun, ia merasa belum puas. Maka, melalui game pula Andre ingin memberikan sesuatu yang berguna bagi orang lain. Caranya, dengan mendirikan sekolah kursus animasi dan desain 3D berstandar internasional, yang diberi nama Enspire School of Digital Art (ESDA).

Andre SuryaHidup itu harus bisa berguna bagi orang lain,” kata Andre, kelahiran 1 Oktober 1984. Ia lalu berpikir apa yang secara praktis bisa berguna untuk banyak orang, hingga muncullah ide untuk membuka sekolah tersebut. “Ide bikin sekolah ini sendiri muncul karena sejak dulu saya suka main game. Saya tahu teknologi 3D ini karena main game. Saya berharap orang-orang tertarik dengan dunia 3D,” ia menambahkan.

Karier profesional Andre di bidang animasi 3D dimulai ketika ia bekerja di sebuah perusahaan periklanan dan architectural visualization di Jakarta Polaris 3D. Kuliahnya di dalam negeri yang cuma satu tahun di Jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Tarumanegara, dilanjutkan di Kanada dengan mengambil pendidikan diploma di bidang film & special effect di Vanart, sekolah film di Vancouver, Kanada.

Setelah menyelesaikan kuliah, Andre diterima sebagai satu-satunya digital artist asal Indonesia yang bekerja di Divisi Industrial Light and Magic (ILM) Lucas Film Singapura. Perlu diketahui, Lucas Film adalah salah satu studio film terbesar di Amerika Serikat. Di Lucas Film, Andre banyak terlibat dalam pembuatan beberapa film Hollywood terkenal yang banyak menggunakan special effect, seperti Iron Man, Star Trek, Terminator Salvation, Transformers: Revenge of the Fallen, dan Avatar.

Setelah sempat bekerja selama empat tahun di Lucas Film, Andre pun memutuskan pulang kampung, sekitar lima tahun lalu. Ia lalu mendirikan perusahaan animasi 3D bernama Espire Studio. Dan, seperti sudah disinggung di atas, kemudian pada Februari 2013 Andre mendirikan sekolah animasi ESDA.

Melalui ESDA, Andre ingin mendedikasikan ilmunya untuk menyediakan pelatihan yang efektif bagi pengembangan kreativitas dan kemampuan teknik digital artist. Strateginya, dengan menyediakan instruktur dan mentor yang piawai, didukung kombinasi kurikulum e-learning yang dirancang secara khusus. “Di sini, sistem pembelajarannya menggunakan video, yang dibimbing seorang guru,” ia menjelaskan.

Awalnya, siswa ESDA dibagi dengan sistem kelas. Namun, dalam beberapa bulan terakhir diganti menjadi sistem level, dengan jam belajar dari Senin sampai Jumat mulai, pukul 12.00-19.00, dan Sabtu pukul 09.00-16.00. Untuk satu level, dibutuhkan waktu tiga bulan atau 12 kali pertemuan, 3 jam per pertemuan. Andre mematok biaya Rp 2,7 juta per level. Saat ini, ESDA menyediakan paket belajar hingga Level 8. Buat siswa yang sudah mencapai level 6, Andre akan menawarii mereka magang kerja di Espire Studio.

Ada keunikan ESDA yang jarang dijumpai pada kursus keterampilan lainnya. “Pada tiap level kami minta murid menyelesaikan satu portofolio. Kalau mereka berhasil, bisa naik level,” ujar Andre. Menurutnya, sekolahnya tidak menggunakan sistem ujian. Alasannya, ia tidak mau murid merasa ada kewajiban datang. “Kami ingin murid datang ke sini karena merasa ingin menciptakan atau membuat sesuatu. Berkarya kreatif itu tidak bisa dipaksa, harus dari kemauan sendiri,” papar Andre.

Selain sebagai tempat menambah keterampilan animasi dan desain 3D, ESDA rupanya juga bisa berperan sebagai pusat rehabilitasi bagi anak-anak yang kecanduan main game. Misalnya, seorang siswa ESDA bernama Reynold. Tadinya, anak itu menjalankan pola home schooling karena ibunya sudah tidak bisa mengontrolnya dan sering bolos sekolah. Anak ini sudah kecanduan main game. Setiap hari rata-rata menghabiskan waktu hingga 12 jam untuk main game, dari pagi sampai malam. “Ketika ibunya bertemu saya, lalu saya tawarkan sekolah di ESDA. Sekarang Reynold sudah kerja full time di sini. Walaupun usianya baru 14 tahun, gajinya sudah seperti anak lulusan kuliah,” ungkap Andre bangga. “Selain itu, sekarang ia sudah bisa bantu ibunya yang arsitek untuk bikin 3D modeling. Mungkin karena sibuk berkreasi, dia juga sudah jarang main game,” tambahnya.

Andre menyebutkan, saat ini total siswanya sudah mencapai sekitar 1.000 orang. Selain itu, ESDA juga sudah membuka cabang yang diwaralabakan, yaitu di Alam Sutra dan Pluit. Dalam waktu dekat ia akan membuka cabang di Kelapa Gading. Untuk membuka waralaba ESDA, cukup membayar franchise fee sebesar Rp 190 juta selama lima tahun, tetapi mesti membayar royalty fee 30% per bulan — untuk tiga bulan pertama bebas royalti.

Andre optimistis sekolah animasi 3D ini akan semakin diminati orang. Sebab, ke depan, peluang bekerjanya lebih terbuka luas dengan memiliki kemampuan di bidang desain dan animasi 3D. “Animasi 3D sangat menjanjikan. Sekarang saja film Disney Pixar sudah 3D semua. Karena zamannya sudah berubah,” ujarnya. Menurutnya, belajar 3D ini ilmunya sangat komersial dan bisa dipakai seumur hidup untuk bekerja. “Jadi, sekolah di sini lebih murah dari kuliah, tetapi gaji yang dihasilkan nantinya bisa setara dengan lulusan kuliah,” katanya.

Hal ini diakui salah satu muridnya, Renoir Marc. Selain masih menjadi murid di sekolah animasi 3D ESDA, lelaki yang masih duduk di bangku kelas 3 SMA ini juga sudah dipercaya menjadi anggota tim kurikulum ESDA. Tugasnya? menyusun kurikulum bagi murid-murid untuk level di bawahnya.

Saya sudah belajar di ESDA selama 1,5 tahun,” ucap Renoir. Ia menceritakan, awal masuk ESDA karena suka main game. Dan, ternyata dari game bisa menghasilkan sesuatu yang berguna, nggak cuma main-main. “Karena itu, saya jadi tertarik belajar 3D, dan bercita-cita bekerja di industri game,” katanya.

Menurut Renoir, proses belajar di ESDA sangat menyenangkan. Para siswa dibimbing mentor yang profesional di bidangnya. Kelasnya pun santai, tidak kaku seperti di sekolah. “Saya harap ESDA lebih aktif mengenalkan dan mempromosikan industri 3D ke masyarakat supaya semakin banyak yang tertarik menekuni industri 3D,” ujarnya. (*) 

Raden Dibi Irnawan & A. Mohammad BS

The post Cara Andre Surya Berbisnis Sekolah Animasi dan Desain 3D appeared first on SWA.co.id.

Reynold Wijaya, Mantab Terjun di Bisnis Fintech

$
0
0
Reynold Wijaya

Buah tak jauh jatuh dari pohonnya. Mungkin itulah peribahasa yang cocok menggambarkan Reynold Wijaya, anak ketiga dari pasangan Harsono Pangjaya dan Susylia Sukana, pendiri Grup Unifam (United Family). Kiprah Grup Unifam di Tanah Air bisa dikatakan cukup besar. Di bidang makanan misalnya, perusahaan yang berdiri sejak tahun 1981 ini punya merek yang telah mengglobal, seperti permen Milkita, serta es Kiko dan Phino.

Reynold WijayaProduk Unifam Food telah menjangkau lebih dari 20 negara yang tersebar di Asia, Afrika, Amerika Serikat, Australia dan Asia Pasifik. Mereka memiliki kantor cabang operasional bersama di Filipina, Vietnam dan AS. Maka tak heran, darah seorang pengusaha telah mengalir di dirinya lantaran menjadi saksi hidup keberhasilan orang tuanya membesarkan bisnis. “Latar belakang keluarga saya memang pengusaha. Ibu saya yang mengurus bagian food, sedangkan ayah saya yang non-food. Jadi, dari dulu saya memang dibesarkan di dunia wirausaha, passion saya di kewirausahaan,” ungkapnya.

Meski sebagai anak seorang pengusaha besar, tak lantas membuat Reynold begitu saja nebeng kesuksesan orang tuanya. Alih-alih ikut nimbrung di perusahaan orang tua, kini Reynold lebih sibuk mengurus bisnisnya sendiri di bidang teknologi finansial. Ia mengaku sedang asyik-asyiknya bereksperimen dengan usaha barunya itu.

Toh, Unifam, ia ceritakan, masih bisa berjalan tanpa dirinya. Orang tuanya masih terlibat dalam aktivitas perusahaan. Ada kakak-kakaknya pula yang membantu bisnis keluarganya. “Tanpa saya, bisnis keluarga tetap bisa berjalan. Sekarang ini, saya lebih memilih menarik diri, tetapi tidak menutup kemungkinan jika nanti saya akan kembali. Pertama-tama, saya ingin usaha saya maju dan berkembang lebih dulu, Reynold menegaskan.

Awalnya, ia sempat menjajal karier di perusahaan keluarga selama kurang lebih tiga tahun. Reynold pernah menjabat sebagai asisten vice president manufakturing, jabatan yang memang cocok dengan latar belakang pendidikannya. Ia merupakan lulusan Industrial and Operations Engineering dari University of Michigan untuk gelar sarjana dan master. “Saya pikir awalnya saya akan kembali ke perusahaan keluarga setelah lulus kuliah, tetapi keinginan saya berubah setelah saya melanjutkan pendidikan lagi di Harvard Business School,” ujarnya menceritakan.

Di Harvard ia berteman dengan Kelvin Theo, yang memiliki latar belakang pendidikan dan karier di dunia finansial. Lewat perbincangan sederhana di asrama mahasiswa, terbesitlah ide untuk membuat sebuah perusahaan teknologi pinjam-meminjam langsung atau peer to peer landing. Mereka berdua telah sangat familier dengan model bisnis tersebut, lantaran praktik bisnisnya telah lazim dilakukan di AS. “Kami ingin mengadopsinya ke Asia Tenggara,” ia menjelaskan.

Tahun 2015, singkat cerita mereka mulai merealisasikan mimpinya. Keduanya berhasil memperoleh pendanaan dan membentuk perusahaan teknologi finansial bernama Funding Societies di Singapura. Hampir setahun kemudian, mereka bahkan melebarkan sayap ke Indonesia dengan nama Modalku. Ia punya pertimbangan tersendiri mengapa memilih Singapura lebih dulu dibanding Indonesia. Salah satunya, pembuktian diri bahwa adopsi tersebut bisa berjalan lancar. “Karena kalau di Indonesia lebih tricky, saya harus yakinkan diri dulu I can do this. Kalau sudah membuktikan diri akan lebih mudah, dibanding belum ada apa-apanya lalu masuk ke sini, itu lebih sulit,” Reynold menuturkan.

Ia mengaku bangga bisa menghadirkan sebuah platform yang bisa mempermudah usaha kecil dan menengah memperoleh modal kerja. Musababnya, menurutnya, banyak UKM yang saat ini belum bankable, padahal punya prospek yang bagus bila diberi kesempatan. “Saya ingin hadir di sana, ingin mempermudah UKM memperoleh pendanaan. Karena kalau berbicara bisnis, semua perusahaan besar dulunya juga UKM. Unifam dulunya juga UKM sebelum bisa sebesar sekarang,” ujar Reynold.

Dari sisi kinerja, bisa dikatakan, bisnis besutan Reynold dan Kelvin ini bertumbuh signifikan. Funding Societies misalnya, telah menyalurkan pinjaman sebanyak S$ 5 juta atau sekitar Rp 48,2 miliar dengan tingkat pembayaran 100% atau NPL 0%. Begitu pun Modalku, yang baru berjalan tiga bulan, tercatat telah menyalurkan pinjaman sekitar Rp 2,1 miliar kepada 10 peminjam.

Reynold tidak mematok target tertentu dari segi angka. Nomor tiga dari empat bersaudara ini memilih membangun kepercayaan dan ekosistem yang baik lebih dulu. Salah satu yang dilakukannya adalah dengan proses screening yang ketat dan menjalin kerja sama dengan Bank Sinarmas sebagai pihak escrow agent yang akan mengelola rekening penampungan selama proses pemberian pinjaman berlangsung. “Karena, bagaimanapun, ini merupakan bisnis kepercayaan,” ia menandaskan.

Para investor, menurutnya, tak perlu ragu menginvestasikan uangnya di Modalku. Sebab, para peminjam telah melalui proses seleksi yang panjang, mencakup lima tahap, baik online maupun offline. Peminjam harus melewati verifikasi aplikasi, profile screening, verifikasi antifraud dengan cara melakukan site visit, psychometric testing untuk mengetahui psikologi atau karakter peminjam, hingga evaluasi bisnis dan keuangan. “Peminjam yang memiliki risiko bisnis sangat tinggi, tidak akan kami terima,” Reynold menambahkan.

Di Modalku, ia melakukan monetisasi bisnis dengan membebankan fee atas setiap kesepakatan nilai yang rampung. Besarannya 3%-4% untuk pemberi pinjaman, dan 3% untuk peminjam. Adapun jumlah pinjaman yang dapat diminta oleh peminjam berkisar Rp 50-500 juta dengan tenor 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan. Bunganya 15%20% per tahun. Pemberi pinjaman bebas menaruh uangnya di UKM yang mereka anggap menarik. “Tapi untuk mengurangi risiko, kami sarankan melakukan diversifikasi portofolio, ujarnya.

Dihubungi secara terpisah, ibunda Reynold, Susylia Sukana, mengatakan, dirinya sangat mendukung langkah anaknya itu. Ia tidak berkeberatan Reynold memilih mengembangkan bisnis sendiri di luar bisnis keluarga. Ia tidak punya kekhawatiran bila anaknya itu gagal. “Kalau tidak diberi kesempatan tidak akan mandiri. Kami sebagai orang tua membebaskan dia untuk berkreasi,” ujarnya.

Susylia pun mengaku tak memberikan arahan tertentu bagi Reynold dalam menjalankan bisnisnya. Ia punya keyakinan Reynold telah belajar dengan sendirinya dari pengalaman hidupnya dibesarkan dalam keluarga pebisnis. “Kami ini keluarga bisnis. Kalau kumpul bicaranya bisnis, jadi selalu tukar pikiran kalau sedang kumpul. Tidak perlu diarahkan lagi,Susylia menandaskan.

The post Reynold Wijaya, Mantab Terjun di Bisnis Fintech appeared first on SWA.co.id.

Viewing all 483 articles
Browse latest View live